Blogger Widgets

Jumat, 14 Maret 2014

Lucky!! #cerpen 4/4

Ini Part terakhirnya teman-temaaaaaan :D
Semoga suka yaaa ;)

PART 4 of 4
.
.
.

Shilla mengerjapkan matanya berulang-ulang. Lalu melirik ke jam dinding kamarnya. Sudah pagi ternyata.
“Duh..” ia meringis pelan. Merasakan ada yang aneh pada matanya.
Ah ya. Matanya terasa perih.
Shilla berjalan ke arah meja rias dikamarnya. Ia menatap tubuhnya di pantulan cermin itu.
Matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Pasti ini efek menangis semalaman.

“Kenapa gue harus nangis?” ucapnya datar.
Iya. Kenapa dia harus nangis. Kenapa? Kenapa? KENAPA?
“Ternyata Gabriel bener. Cakka bukanlah cowok yang baik buat gue. Dia cowok yang...” Shilla menghentikan ucapannya.
Ia tiba-tiba terduduk di lantai begitu saja.
“Lo jahat, Kka! Jahat!” Shilla kembali menangis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Elo jahat...” lirihnya. “Cowok yang gue puji setiap hari, ternyata Cuma cowo berengs*k!”

Lebay?
Shilla tak perduli jika sikapnya yang menangis histeris ini disebut lebay. Wajar saja ia merasa se-frustasi ini. Cakka adalah cinta pertama Shilla. Walaupun Shilla memang cantik, dan banyak yang menyukainya, tapi baru kali ini ia merasakan cinta dan pacaran.
Shilla bukan gadis polos lagi. ia tahu dari teman-teman perempuannya bahwa cinta pertama itu mengesankan, dan sulit untuk dilupakan.
Mengesankan? Apa yang mengesankan? Kisah cinta pertama Shilla ternyata berbeda dengan teman-temannya. Ia merasa kecewa, tersakiti, dan ia benci kisah cinta pertamanya ini. Ia benci Cakka! Benci!!!

**

Gabriel seperti patung bernafas saat ini. Ia duduk di sofa dan menghadap ke tv. Mungkin orang lain akan menyangka bahwa ia sedang asik menonton tv. Jawabannya? Tidak!
Ia menjadi kaku. Tubuhnya kaku, matanya kaku, semua alat inderanya kaku. Dan yang terus berjalan hanyalah... Otaknya dan nafasnya.
Ia terus terbayang-bayang akan kejadian kemarin. Bukan! Bukan kejadian dimana Cakka menghianati Shilla.
Tapi, saat ia tak sengaja menonjok wajah gadis itu. Lalu gadis itu memandangnya dengan penuh kebencian, dan amarah. Bahkan, tak sedikitpun gadis itu menatapnya dengan halus.
Ia merasa terpojok. Terjerumus pada masalah besar yang akan mempengaruhi persahabatannya dengan gadis itu.
Ia menyesali semuanya. Semua.
Ia menyesal tak dapat menjaga gadis itu, ia menyesal tak bisa menjauhkan gadis itu dari Cakka. Dan.. ia menyesal tak memberitahukan tentang perasaannya sejak dulu.
Gabriel menyesal.

Drrtt.. Drrtt
Tiba-tiba Gabriel merasakan getaran pada saku celananya. Dan hal itu langsung membuat Gabriel tersadar dari lamunan panjangnya.
Ia merogoh sakunya dengan malas. Dan mengambil benda mungil yang menyebabkan sakunya bergetar tadi.

From : Rio
07.05

Yel, gue khawatir nih sama keadaan Shilla. Gue takut Shilla kenapa-napa. Eh, maksud gue.. pokoknya, gue khawatir sama keadaan Shilla. Lo cek ke rumahnya dong, Yel. Gue gak bisa kesana. Soalnya tadi pagi-pagi banget nyokap ngotot gue nganterin dia ke bandara.

Gabriel menghela nafasnya sebentar. Lalu mengetik balasan untuk Rio.

To : Rio        
Sorry, Yo, gue rasa Shilla butuh waktu sendiri dulu.

Drrtt... Drrt..
Baru beberapa detik pesan Gabriel terkirim, tapi Rio sudah mengirim balasan.

From : Rio
07.07

EH DODOL! LO GAK KHAWATIR SAMA SHILLA? GUE TAU SHILLA BUTUH WAKTU SENDIRI DULU. TAPI SETIDAKNYA LO HARUS CEK KEADAAN DIA DONG!

To : Rio
Anjir! Gak pake capslock berapa sih, Yo? iya, gue kesana!      
                       
From : Rio
07.08

Hehe.. nah gitu dong, bro. itu baru namanya sahabat :)

Gabriel tak menggubris balasan sms dari Rio.  Ia langsung menuju ke kamarnya.
Rio benar, bagaimanapun, Shilla adalah sahabatnya. Ia harus mengetahui bagaimana keadaan gadis itu saat ini.

**

“Permisi, selamat pagi, tante.”
Seorang wanita paruh baya yang sedang asik dengan berkas-berkas di meja di hadapannya, menoleh pada sumber suara.
“Eh, nak Gabriel.” Ucap wanita paruh baya itu. Ia adalah Ibunda Shilla.
Gabriel tersenyum.  “Maaf tante, Gabriel lancing masuk duluan. Abisnya, tadi pencet bel gak ada yang nyahut. Yaudah, mumpung pintunya kebuka, jadi Gabriel masuk.”
“Oh, iya gakpapa kok. Tadi mungkin si mbok lagi keluar, dan tante lagi sibuk beresin berkas-berkas ini.” Jawab Mama Shilla.
Gabriel mengangguk faham. “Shilla.. ada, tan?” tanya Gabriel to the point.
Air muka mama Shilla berubah seketika. “Ada. Hanya saja...”
“Hanya saja? Kenapa, tante?” sahut Gabriel memotong ucapan Mama Shilla.
Mama Shilla mendongak, dan menatap Gabriel, “Semalam, setelah ia pergi dengan Rio, pulang-pulang ia berantakan. Dan ia langsung masuk ke kamarnya. Saat tante ingin mengecek keadaannya, tante mendengar Shilla menangis. Menangis histeris.” Mama Shilla menghela nafasnya, “Dan dia gak mau bukain pintu buat tante. Ia juga gak mau makan sampai sekarang. Apa, kamu tau apa yang terjadi sama Shilla semalam? Apa yang dilakukannya dengan Rio?” tanya Mama Shilla.
Gabriel menggelengkan kepalanya, “Dia hanya pergi biasa dengan Rio. Hanya saja, saat itu terjadi suatu kejadian tante. Tapi, hal yang membuat Shilla menangis itu tidak ada hubungannya dengan Rio.” Jelas Gabriel.
Mama Shilla menaikan sebelah alisnya kebingungan, “Maksud kamu?”
“Maksud saya.. em, rumit tante.” Gabriel tersenyum garing.
Mama Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya, “Yasudah, ayo saya antar ke kamar Shilla.” Ucap Mama Shilla.
Gabriel hanya mengangguk, dan mengikuti Mama Shilla yang kini sudah menaiki tangga.

KREEEKK
Saat sudah sampai di depan pintu kamar Shilla, perlahan Mama Shilla membuka sedikit pintu kayu itu.

Mama Shilla memperhatikan sekitar ruangan kamar Shilla.
Tidak ada. Ia tidak melihat putrinya disana.

“Shilla lagi ngapain, tan?” tanya Gabriel yang penasaran.
“Kamu lihat sendiri saja, ya. Tante tinggal dulu.” Mama Shilla hanya tersenyum. sebenarnya, ia sudah mengetahui dimana anak gadisnya itu. Lalu, wanita paruh baya itu berjalan meninggalkan Gabriel yang masih berdiri di depan pintu kamar anak gadisnya.
Gabriel menyembulkan kepalanya. Memperhatikan ruangan itu dengan seksama. Sama seperti Mama Shilla tadi. Gabriel tidak melihat keberadaan Shilla.
Akhirnya, Gabriel memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam pintu kamar Shilla.

Tap.. Tap.. Tap..
Tiba-tiba langkah Gabriel berhenti, tepat ketika ia melihat seorang gadis sedang duduk dengan memangku sebuah gitar putih, di sebuah kursi di balkon kamar.
Gabriel perlahan mendekati pintu menuju balkon yang kini terbuka lebar.

Ia memperhatikan apa yang sedang dilakukan Shilla.

“...kau yang selalu memeluku. Di saat ku menangis. Mengapakah kau pergi...

Gadis itu ternyata sedang bernyanyi. Tapi, sepertinya Gabriel belum pernah mendnegar lagu ini. Apa ini.. lagu ciptaan Shilla?
Gabriel tak tahu. Lalu ia mencoba mendengar kembali lagu yang sedang dinyanyikan gadis cantik itu.

“...Bahagia kau lihat terpuruk ku di sini. Menanti kau kembali..”

“...Aku masih cinta,aku masih sayang... Walau kau sakiti hatiku. Aku masih setia,masih tetap setia Walau kau sakiti hatiku. Kau hancurkan aku...”

Seketika itu pula, hati Gabriel merasa hancur. Seperti lagu yang Shilla nyanyikan.
Ia mematung.
“Shilla.. tetep cinta sama Cakka? Meskipun.. Cakka udah nyakitin dia?” lirih Gabriel.

Pedih! Gabriel merasa hatinya sangat perih. Bagaikan tersayat pedang tajam.
Ia buru-buru mengambil langkah seribu. Dan pergi meninggalkan kamar Shilla, tanpa mengeluarkan suara yang bisa membuat Shilla curiga.

**

Rio sedang menikmati tiupan halus angin di taman.
Rio sudah mengetahui apa yang terjadi pada kedua sahabatnya.
Barusan, Rio menerima pesan dari Gabriel. Dan Pemuda itu menceritakan apa yang terjadi dengan Shilla.
Termasuk, saat Shilla menyanyikan lagu itu.

Dan Rio, tanpa diberitahu oleh Gabriel pun, sudah tahu pasti bagaimana perasaan Gabriel saat ini.

“Kita harus melakukan sesuatu, Yo.”

Rio menoleh saat mendapati gadis disebelahnya itu berbicara.
Gadis yang baru kemarin resmi menjadi pacarnya.
Sebenarnya, Gabriel maupun Shilla tidak mengetahui tentang hubungan Rio dengan kekasih barunya itu. Rio sengaja tak memberitahu kedua sahabatnya itu, karena waktunya yang tidak tepat.

“Ngelakuin apa?” tanya Rio.
“Pokoknya, besok kamu ke sekolah ku, ya, sepulang sekolah.” Ujar gadisnya itu seraya tersenyum penuh makna.
Rio balas tersenyum dan mengangguk, “Iya. Nanti aku kesana. Aku tau kok, kamu pasti punya suatu rencana.”
Gadisnya itu mengangguk.
“Yaudah, pulang yuk, Vi.”

**

Keesokan harinya...

Hari ini, Shilla pindah tempat duduk dengan Patton. Ia memaksa cowok berkulit hitam manis itu untuk pindah, dan duduk bersama Cakka. Sedangkan Debo, teman sebangku Patton, menjadi duduk bersama Shilla.
Sebenarnya, Shilla merasa bodoh saat ini. Harusnya, ia tidak masuk sekolah hari ini!
Mau apa coba? Di kelas kan ada Cakka! Selain itu, juga ada Gabriel!
Tapi, Shilla tak perduli pada Cakka. Karena, cowok itu juga sudah tak memperdulikannya. Buktinya, cowok itu dengan SOPANNYA membawa pacar barunya kedalam kelas. Dan hal itu membuat Shilla muak! Apalagi, ditambah dengan reaksi teman-teman sekelasnya yang membuat Shilla semakin ingin lenyap saja dari dunia ini!
Tapi, yang membuat Shilla heran adalah sikap Gabriel.
Cowok itu.. sangat dingin. Bahkan, ia merasa itu bukanlah Gabriel! Gabriel benar-benar menjadi pendiam. Tak sedikitpun pemuda itu menoleh, apalagi menyapanya seharian ini.
Memang sih, ia masih agak sebal pada Gabriel gara-gara kejadian semalam. Tapi, itu kan sebuah ketidak sengajaan!
Ah sudahlah! Lama-lama Shilla pusing memikirkan hal ini!

Teng.. Teng..
Shilla yang memang sejak tadi tidak memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan, dan malah asik melamun, kini tersadar karena suara bel yang nyaring.
Bel tanda pulang sekolah itu sudah menggema ke seluruh penjuru sekolah.

Shilla menoleh ke sekelilingnya. Eh, dimana Gabriel? Perasaan, tadi pemuda itu masih duduk dibangkunya.

“Shill..”
“Eh..” Shilla reflex kaget ketika Sivia, sahabat barunya memukul pelan bahunya.
“Iya, Vi? Ada apa?” tanya Shilla.
“Mau gak, anter gue? Sebentaaar aja.” Pinta Sivia memohon.
“Oh, iya boleh.” Jawab Shilla seraya berdiri dan membereskan barang-barangnya.
“Yuk..”

**

“Kita mau kemana sih, Vi?” tanya Shilla, karena sejak tadi ia dan Via berjalan saaaangat lambat.
Via nyengir gaje membalas pertanyaan Shilla. Lalu gadis itu melirik handphonenya.
Dan tersenyum penuh misterius.

“Ke ruang musik, yuk!” ujar Sivia.
Alis Shilla saling bertautan, “Tumben lo, ngajak kesana. Mau ngapain?” tanya Shilla.
“Enggak papa. Lagi pengen aja. Yuk!” ujar Sivia.
Shilla hanya mengangguk-ngangguk saja dengan ajakan Sivia.
Sivia tersenyum lebar, dan langsung meraih lengan Shilla dan menggandenganya. Dan jujur saja, hal itu membuat Shilla merasa ngeri...

“Oh ya, Shill, gimana sama perasaan lo sekarang?” tanya Sivia, “Eee maksud gue, lo udah move on kan dari si Cakkadut itu?” ralat Sivia cepat.
Shilla tersenyum getir. Dan hal itu membuat Sivia merasa bersalah.
“Sorry, maksud gue--“
“Gak apa-apa kok, Vi.” Potong Shilla cepat. “Perasaan gue ya gitu aja. Mau gimana lagi, emang begitu kan kenyataannya? Cakka itu playboy! Yaudah, berarti gue harus move on secepatnya.” Jelas Shilla.
Sivia mengangguk-angguk, “Kalau hari ini ada yang nembak lo, apa lo mau jadi pacarnya?” tanya Sivia.
“Maksud lo, Vi?” tanya Shilla tak mengerti.
“Eee maksud gue.. emm.. Eh, Shill, udah nyampe nih.” Jawab Sivia grasu-grusu, tepat di depan sebuah ruangan. Ruang musik.
“Oh, yaudah, ayo masuk.” Ujar Shilla.
“Em, ee.. tapi, lo masuk duluan aja deh, Shill. Nanti gue nyusul. Gue kebelet nih. Pengen ke toilet dulu, hehe..” balas Sivia dengan alibinya.
Shilla hanya mengangguk saja. “Yaudah, cepetan, ya.” Ujar Shilla.
Sivia ngangguk-ngangguk antusias.

Shilla perlahan memegang knop pintu ruang musik setelah kepergian Sivia.

KREKK...
Decitan pintu yang terbuka membuat telinga Shilla merasa ngilu.
Baru saja Shilla akan melangkahkan kakinya kedalam, tiba-tiba ia mendengar sesuatu dari dalam.

CIIITT..
Shilla kenal betul dengan suara itu. Itu adalah suara gesekan antara lantai dengan kaki kursi yang di geser. Dan sepertinya, itu kursi yang ada di depan grand piano.
Shilla menyembulkan kepalanya kedalam. Mencoba melihat, siapa yang sebenarnya menyebabkan bunyi itu.

**

Gabriel menggeser sebuah kursi cukup panjang yang ada di depan sebuah grand piano berwarna putih di ruang musik.
Setelah itu, ia duduk dengan manis di kursi itu.

Gabriel menghela nafas berat. Ia meraba tuts piano  yang berwarna putih dan hitam itu.

“Gue benci mencintai sahabat gue sendiri.” Ucap Gabriel tiba-tiba.
“Ia adalah orang, yang sama sekali gak mencintai gue. Cinta gue... bertepuk sebelah tangan. Tapi, bodohnya, gue masih tetep aja cinta sama dia. Walaupun, dia masih mencintai mantan kekasihnya.” Sambungnya.
Gabriel menundukkan kepalanya. Meresapi apa yang sebenarnya ia rasakan, “Gue suka sama lo, Shilla. Sejak dulu! Gue sayang sama lo. Dan rasa sayang gue terhadap lo ini, lebih dari sekedar rasa sayang kepada sahabatnya. Gue... cinta sama lo, Shill. Gue benci saat lo suka sama Cakka. Gue benci saat lo jadian sama dia. Dan gue benci, karena lo lebih menyayangi dia daripada gue. Gue benci!”
Gabriel menelan salivanya dengan susah, “Tapi apa? Gue pengecut! Gue sama sekali gak bisa ngelakuin apa-apa. Gue gak punya nyali untuk ungkapin perasaan gue ke elo, Shill. Gak bisa...”
“Tapi, walaupun gue tau, lo masih cinta sama Cakka, perasaan gue ke elo gak berubah, Shill. Perasaan itu malah semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu.  Gue tetep cinta sama lo, Shill. Dan rasa itu gak akan pernah bisa berubah...”
Gabriel menghela nafasnya panjang, “Maaf, karena gue mencintai lo, Shill.” Ucapnya kembali.

Gabriel mulai menekan beberapa tuts piano dihadapannya.
Nada-nada yang diciptakan, mulai terdengar.

“...Kutau kusalah
Memaksa kehendakku
Tuk memilikimu...”
Ternyata, Gabriel telah menyelesaikan lagu ciptaannya. Dan kini, ia menyanyikan lagu tersebut.

“...Kuterluka tanpamu
Sungguh ku tak bisa membenci dirimu
Oh dirimu...”             
“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

**

Shilla menutup bibirnya dengan telapak tangan kananya. Ia masih belum percaya. Sama sekali belum!
Orang yang ada di depan grand piono itu ternyata adalah Gabriel.
Iya! Gabriel, sahabatnya.
Yang tidak bisa Shilla percaya adalah, ungkapan yang Gabriel ucapkan tadi.
Gabriel... mencintainya?
Tapi, kenapa pemuda itu tidak mengatakan hal itu sejak dulu?

“Bodoh! Gabriel bodoh!” ucap Shilla pelan. Dan entah sejak kapan, kini Shilla mengeluarkan air mata.


Shilla menangis semakin keras saat mendengar penggalan lagu yang Gabriel nyanyikan.

“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

“...Menanti... dirimu di hati...”

“BODOH!!!”

**

Gabriel menghentikan permainannya saat mendengar sebuah suara yang datang dari arah pintu.
Ia membalikkan tubuhnya, dan...
“Shilla...” ucap Gabriel terkejut.

Shilla berjalan menghampiri Gabriel. Matanya sembab. Ia menangis!

“Kamu...”
“Lo bodoh, Yel!!” hardik Shilla. Kini, ia sudah sampai di hadapan Gabriel.
“Gue...”
“Kenapa lo gak bilang dari dulu, sih?!”
“Eh...” Gabriel terhenyak mendengar ucapan Shilla barusan.
“Jadi selama ini lo suka sama gue, Yel? Lo menganggap gue LEBIH dari seorang sahabat? Kenapa.. kenapa lo gak bilang dari dulu, siiih?” Shilla mencoba mengatur nafasnya, yang kini tersenggal. Ia meluapkan emosinya. “Kenapa lo Cuma bisa diam? Dan ngebiarin rasa itu terus tumbuh di dalam hati lo, tanpa sedikitpun lo biarkan rasa itu menyeruak. Lo pendem semuanya!”

Gabriel menundukkan kepalanya. Menatap pada ubin-ubin yang terlihat sama sekali tak menarik saat ini. “Gue emang bodoh, Shill! Tolol! Gue pengecut! Gue sama sekali gak berani buat bilang semuanya sama lo. Gue Cuma berani buat pendem semuanya. Gue emang pengecut, Shill.” Ucap Gabriel. “Lagi pula, buat apa gue ungkapin semua ini, kalo ternyata, gue tau kalau elo gak punya perasaan yang sama ke gue. Percuma, Shill. Percuma.” Ia mendongakkan kepalanya. Menatap gadis  yang berdiri di hadapannya.

“Semuanya gak akan percuma kalau lo bilang ini dari awal.” Ujar Shilla.
Gabriel tersenyum kecut, “Iya. Dan pada akhirnya, sekarang gue udah terlambat.”
“Gak ada yang terlambat.” Potong Shilla.
Mata Gabriel membulat, “Maksud lo?” tanyanya.

Shilla tidak menjawab pertanyaan Gabriel. Ia malah berjalan mendekati kursi yang kini diduduki oleh Gabriel. Dan duduk di dekat pria itu.
Gabriel sendiri, memperhatikan gerak-gerik Shilla.
“Shill...”

Shilla mulai memainkan jemarinya di atas tuts-tuts itu.
Sebenarnya, gadis itu tidak sedang benar-benar memainkan piano itu. Ia hanya menekan asal.

“Ternyata.. laki-laki itu memang susah peka. Susah banget!” ucap Shilla. Matanya masih menatap ke jemarinya yang asik menekan tuts hitam putih itu.
Gabriel masih kebingungan.
“Tuh kan, udah dibilang begitu, masih belum juga peka. Padahal udah dikasih lampu hijau. Dasar cowok! Gak peka! Susah peka! Gak ngertiin perasaan cewek!” ucap Shilla lagi. memancing sih sebenarnya.
Beberapa detik, Gabriel masih sibuk dengan pikirannya. Tuh kan! Dasar gak peka!
Sejurus kemudian, ia mengembangkan senyumnya.

“Shilla..” panggil Gabriel.
Shilla menoleh, “Ya?”
“Gue.. udah lama gue suka sama lo. Gue cinta sama lo, Shill.” Ucap Gabriel.
Seulas senyum terukir dibibir manis Shilla.
Gabriel meraih tangan Shilla. Dan mengenggam tangan gadis itu.

“Would you be my girlfriend, Ashilla?”
DEG!!
Semua wanita pasti merasakan hal ini ketika seorang lelaki menyatakan cinta kepadanya.
Deg-degan gak karuan.
“Lo mau jadi pacar gue, Shill?” tanya Gabriel lagi.
Shilla tersenyum. lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Gue mau, Yel.” Jawabnya.
Senyum Gabriel semakin mengembang. Gabriel kemudian mengecup tangan Shilla.
“Makasih, Shill.” Ucapnya.
Sejurus kemudian, ia membawa gadis itu kedalam pelukannya.
Shilla pun membalas pelukan itu.

“Kamu tau, Yel? Aku merasa beruntung mempunyai kekasih, yaitu sahabatku sendiri.” Ucap Shilla.
“Aku juga, Shill.” Sahut Gabriel. “Seperti yang pernah kamu bilang dulu. Kalau sahabat kita jadi pacar kita...”
“Kita pasti akan merasa beruntung. Karena, sahabat pasti sudah mengetahui seluk beluk kita. Dan dia pasti bisa menerimanya.” Sahut Shilla melanjutkan.
Gabriel tersenyum dibalik punggung Shilla. “I’m lucky, Shill.” Ucap Gabriel.
Shilla tertawa kecil, “I’m too, Gabriel.”

“CIEEEE.....” Gabriel maupun Shilla sama-sama menoleh dan melepaskan pelukannya, saat mendengar sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga mereka.

“Ciee yang udah jadian.” Ucap salah seorang diantara mereka.
“Rio, Sivia, ngapain kalian disini?” tanya Shilla kepada dua orang itu.
“Yang paling harus ditanyain, kenapa Rio bisa ada disini?” sahut Gabriel.
Ternyata, kedua orang itu adalah Rio dan Sivia.

“Gue kan udah bilang, Yel. Gue punya sumber terpercaya disini, dan dia adalah pacar baru gue. Jadi, gue ikut-ikut aja.” Jelas Rio.
“Maksud lo?” Gabriel menatap Rio, kemudian Sivia dengan tidak percaya.
Rio tersenyum lebar dan menyebalkan, “Sivia pacar gue, Yel, Shill.”
“HAH??” Gabriel dan Shilla sama-sama melongo tak percaya.
“Kok lo mau sih, Vi, sama si Rio?” celetuk Shilla.
“Heh, harusnya gue tanya itu sama lo! Kok lo mau sih jadian sama si Gabriel item?” celetuk Rio membalas.
“Sialan lo, Yo!” balas Gabriel.
Sivia sendiri malah geleng-geleng dan tertawa kecil melihat ketiga sahabat itu.

Gabriel kembali membalikkan tubuhnya ke depan piano. Lalu, pemuda itu menekan tuts piano itu.
Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying...
Shilla, Rio, maupun Sivia tersenyum mendengar lagu yang Gabriel nyanyikan. Lalu, Shilla pun melanjutkan lagu itu.
“...Boy I hear you in my dreams..
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard...”

Dan akhirnya, mereka berempat pun bernyanyi bersama. Menikmati keindahan dan kebersamaan diantara mereka.
Ternyata, Cinta kepada sahabat sendiri itu tidak salah bukan?
Malah, lebih beruntung jika kita cinta pada sahabat kita sendiri. Karena, ia pasti bisa menerima keadaan kita. Baik buruknya kita, ia bisa menerima.

“...I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh...”

“...They don't know how long it takes
Waiting for a love like this
Everytime we say goodbye
I wish we had one more kiss
I'll wait for you I promise you, I will..”
“..I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we're in love every way
Lucky to have stayed where we have stayed
Lucky to be coming home someday...

THE END!!

**

Akhirnyaaaa selesai juga :D
Terima kasih buat yang udah baca cerita ini. Aylopyusomac yaa:*
Maaf kalo endingnya aneh. Pokoknya gak banget. Saya belum jadi penulis professional. *doainajabiarjadiprofesional.hiihi*

DON’T COPAS THIS STORY!! Okey? :)
DON’T BE SILENT READER! LEAVE A COMMENT AND LIKE, Please!

Thanks..
@murfinurh_

0 komentar:

Posting Komentar

 
PiscesLeo? Blogger Template by Ipietoon Blogger Template