Blogger Widgets

Jumat, 14 Maret 2014

Lucky!! #cerpen 4/4

Ini Part terakhirnya teman-temaaaaaan :D
Semoga suka yaaa ;)

PART 4 of 4
.
.
.

Shilla mengerjapkan matanya berulang-ulang. Lalu melirik ke jam dinding kamarnya. Sudah pagi ternyata.
“Duh..” ia meringis pelan. Merasakan ada yang aneh pada matanya.
Ah ya. Matanya terasa perih.
Shilla berjalan ke arah meja rias dikamarnya. Ia menatap tubuhnya di pantulan cermin itu.
Matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Pasti ini efek menangis semalaman.

“Kenapa gue harus nangis?” ucapnya datar.
Iya. Kenapa dia harus nangis. Kenapa? Kenapa? KENAPA?
“Ternyata Gabriel bener. Cakka bukanlah cowok yang baik buat gue. Dia cowok yang...” Shilla menghentikan ucapannya.
Ia tiba-tiba terduduk di lantai begitu saja.
“Lo jahat, Kka! Jahat!” Shilla kembali menangis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Elo jahat...” lirihnya. “Cowok yang gue puji setiap hari, ternyata Cuma cowo berengs*k!”

Lebay?
Shilla tak perduli jika sikapnya yang menangis histeris ini disebut lebay. Wajar saja ia merasa se-frustasi ini. Cakka adalah cinta pertama Shilla. Walaupun Shilla memang cantik, dan banyak yang menyukainya, tapi baru kali ini ia merasakan cinta dan pacaran.
Shilla bukan gadis polos lagi. ia tahu dari teman-teman perempuannya bahwa cinta pertama itu mengesankan, dan sulit untuk dilupakan.
Mengesankan? Apa yang mengesankan? Kisah cinta pertama Shilla ternyata berbeda dengan teman-temannya. Ia merasa kecewa, tersakiti, dan ia benci kisah cinta pertamanya ini. Ia benci Cakka! Benci!!!

**

Gabriel seperti patung bernafas saat ini. Ia duduk di sofa dan menghadap ke tv. Mungkin orang lain akan menyangka bahwa ia sedang asik menonton tv. Jawabannya? Tidak!
Ia menjadi kaku. Tubuhnya kaku, matanya kaku, semua alat inderanya kaku. Dan yang terus berjalan hanyalah... Otaknya dan nafasnya.
Ia terus terbayang-bayang akan kejadian kemarin. Bukan! Bukan kejadian dimana Cakka menghianati Shilla.
Tapi, saat ia tak sengaja menonjok wajah gadis itu. Lalu gadis itu memandangnya dengan penuh kebencian, dan amarah. Bahkan, tak sedikitpun gadis itu menatapnya dengan halus.
Ia merasa terpojok. Terjerumus pada masalah besar yang akan mempengaruhi persahabatannya dengan gadis itu.
Ia menyesali semuanya. Semua.
Ia menyesal tak dapat menjaga gadis itu, ia menyesal tak bisa menjauhkan gadis itu dari Cakka. Dan.. ia menyesal tak memberitahukan tentang perasaannya sejak dulu.
Gabriel menyesal.

Drrtt.. Drrtt
Tiba-tiba Gabriel merasakan getaran pada saku celananya. Dan hal itu langsung membuat Gabriel tersadar dari lamunan panjangnya.
Ia merogoh sakunya dengan malas. Dan mengambil benda mungil yang menyebabkan sakunya bergetar tadi.

From : Rio
07.05

Yel, gue khawatir nih sama keadaan Shilla. Gue takut Shilla kenapa-napa. Eh, maksud gue.. pokoknya, gue khawatir sama keadaan Shilla. Lo cek ke rumahnya dong, Yel. Gue gak bisa kesana. Soalnya tadi pagi-pagi banget nyokap ngotot gue nganterin dia ke bandara.

Gabriel menghela nafasnya sebentar. Lalu mengetik balasan untuk Rio.

To : Rio        
Sorry, Yo, gue rasa Shilla butuh waktu sendiri dulu.

Drrtt... Drrt..
Baru beberapa detik pesan Gabriel terkirim, tapi Rio sudah mengirim balasan.

From : Rio
07.07

EH DODOL! LO GAK KHAWATIR SAMA SHILLA? GUE TAU SHILLA BUTUH WAKTU SENDIRI DULU. TAPI SETIDAKNYA LO HARUS CEK KEADAAN DIA DONG!

To : Rio
Anjir! Gak pake capslock berapa sih, Yo? iya, gue kesana!      
                       
From : Rio
07.08

Hehe.. nah gitu dong, bro. itu baru namanya sahabat :)

Gabriel tak menggubris balasan sms dari Rio.  Ia langsung menuju ke kamarnya.
Rio benar, bagaimanapun, Shilla adalah sahabatnya. Ia harus mengetahui bagaimana keadaan gadis itu saat ini.

**

“Permisi, selamat pagi, tante.”
Seorang wanita paruh baya yang sedang asik dengan berkas-berkas di meja di hadapannya, menoleh pada sumber suara.
“Eh, nak Gabriel.” Ucap wanita paruh baya itu. Ia adalah Ibunda Shilla.
Gabriel tersenyum.  “Maaf tante, Gabriel lancing masuk duluan. Abisnya, tadi pencet bel gak ada yang nyahut. Yaudah, mumpung pintunya kebuka, jadi Gabriel masuk.”
“Oh, iya gakpapa kok. Tadi mungkin si mbok lagi keluar, dan tante lagi sibuk beresin berkas-berkas ini.” Jawab Mama Shilla.
Gabriel mengangguk faham. “Shilla.. ada, tan?” tanya Gabriel to the point.
Air muka mama Shilla berubah seketika. “Ada. Hanya saja...”
“Hanya saja? Kenapa, tante?” sahut Gabriel memotong ucapan Mama Shilla.
Mama Shilla mendongak, dan menatap Gabriel, “Semalam, setelah ia pergi dengan Rio, pulang-pulang ia berantakan. Dan ia langsung masuk ke kamarnya. Saat tante ingin mengecek keadaannya, tante mendengar Shilla menangis. Menangis histeris.” Mama Shilla menghela nafasnya, “Dan dia gak mau bukain pintu buat tante. Ia juga gak mau makan sampai sekarang. Apa, kamu tau apa yang terjadi sama Shilla semalam? Apa yang dilakukannya dengan Rio?” tanya Mama Shilla.
Gabriel menggelengkan kepalanya, “Dia hanya pergi biasa dengan Rio. Hanya saja, saat itu terjadi suatu kejadian tante. Tapi, hal yang membuat Shilla menangis itu tidak ada hubungannya dengan Rio.” Jelas Gabriel.
Mama Shilla menaikan sebelah alisnya kebingungan, “Maksud kamu?”
“Maksud saya.. em, rumit tante.” Gabriel tersenyum garing.
Mama Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya, “Yasudah, ayo saya antar ke kamar Shilla.” Ucap Mama Shilla.
Gabriel hanya mengangguk, dan mengikuti Mama Shilla yang kini sudah menaiki tangga.

KREEEKK
Saat sudah sampai di depan pintu kamar Shilla, perlahan Mama Shilla membuka sedikit pintu kayu itu.

Mama Shilla memperhatikan sekitar ruangan kamar Shilla.
Tidak ada. Ia tidak melihat putrinya disana.

“Shilla lagi ngapain, tan?” tanya Gabriel yang penasaran.
“Kamu lihat sendiri saja, ya. Tante tinggal dulu.” Mama Shilla hanya tersenyum. sebenarnya, ia sudah mengetahui dimana anak gadisnya itu. Lalu, wanita paruh baya itu berjalan meninggalkan Gabriel yang masih berdiri di depan pintu kamar anak gadisnya.
Gabriel menyembulkan kepalanya. Memperhatikan ruangan itu dengan seksama. Sama seperti Mama Shilla tadi. Gabriel tidak melihat keberadaan Shilla.
Akhirnya, Gabriel memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam pintu kamar Shilla.

Tap.. Tap.. Tap..
Tiba-tiba langkah Gabriel berhenti, tepat ketika ia melihat seorang gadis sedang duduk dengan memangku sebuah gitar putih, di sebuah kursi di balkon kamar.
Gabriel perlahan mendekati pintu menuju balkon yang kini terbuka lebar.

Ia memperhatikan apa yang sedang dilakukan Shilla.

“...kau yang selalu memeluku. Di saat ku menangis. Mengapakah kau pergi...

Gadis itu ternyata sedang bernyanyi. Tapi, sepertinya Gabriel belum pernah mendnegar lagu ini. Apa ini.. lagu ciptaan Shilla?
Gabriel tak tahu. Lalu ia mencoba mendengar kembali lagu yang sedang dinyanyikan gadis cantik itu.

“...Bahagia kau lihat terpuruk ku di sini. Menanti kau kembali..”

“...Aku masih cinta,aku masih sayang... Walau kau sakiti hatiku. Aku masih setia,masih tetap setia Walau kau sakiti hatiku. Kau hancurkan aku...”

Seketika itu pula, hati Gabriel merasa hancur. Seperti lagu yang Shilla nyanyikan.
Ia mematung.
“Shilla.. tetep cinta sama Cakka? Meskipun.. Cakka udah nyakitin dia?” lirih Gabriel.

Pedih! Gabriel merasa hatinya sangat perih. Bagaikan tersayat pedang tajam.
Ia buru-buru mengambil langkah seribu. Dan pergi meninggalkan kamar Shilla, tanpa mengeluarkan suara yang bisa membuat Shilla curiga.

**

Rio sedang menikmati tiupan halus angin di taman.
Rio sudah mengetahui apa yang terjadi pada kedua sahabatnya.
Barusan, Rio menerima pesan dari Gabriel. Dan Pemuda itu menceritakan apa yang terjadi dengan Shilla.
Termasuk, saat Shilla menyanyikan lagu itu.

Dan Rio, tanpa diberitahu oleh Gabriel pun, sudah tahu pasti bagaimana perasaan Gabriel saat ini.

“Kita harus melakukan sesuatu, Yo.”

Rio menoleh saat mendapati gadis disebelahnya itu berbicara.
Gadis yang baru kemarin resmi menjadi pacarnya.
Sebenarnya, Gabriel maupun Shilla tidak mengetahui tentang hubungan Rio dengan kekasih barunya itu. Rio sengaja tak memberitahu kedua sahabatnya itu, karena waktunya yang tidak tepat.

“Ngelakuin apa?” tanya Rio.
“Pokoknya, besok kamu ke sekolah ku, ya, sepulang sekolah.” Ujar gadisnya itu seraya tersenyum penuh makna.
Rio balas tersenyum dan mengangguk, “Iya. Nanti aku kesana. Aku tau kok, kamu pasti punya suatu rencana.”
Gadisnya itu mengangguk.
“Yaudah, pulang yuk, Vi.”

**

Keesokan harinya...

Hari ini, Shilla pindah tempat duduk dengan Patton. Ia memaksa cowok berkulit hitam manis itu untuk pindah, dan duduk bersama Cakka. Sedangkan Debo, teman sebangku Patton, menjadi duduk bersama Shilla.
Sebenarnya, Shilla merasa bodoh saat ini. Harusnya, ia tidak masuk sekolah hari ini!
Mau apa coba? Di kelas kan ada Cakka! Selain itu, juga ada Gabriel!
Tapi, Shilla tak perduli pada Cakka. Karena, cowok itu juga sudah tak memperdulikannya. Buktinya, cowok itu dengan SOPANNYA membawa pacar barunya kedalam kelas. Dan hal itu membuat Shilla muak! Apalagi, ditambah dengan reaksi teman-teman sekelasnya yang membuat Shilla semakin ingin lenyap saja dari dunia ini!
Tapi, yang membuat Shilla heran adalah sikap Gabriel.
Cowok itu.. sangat dingin. Bahkan, ia merasa itu bukanlah Gabriel! Gabriel benar-benar menjadi pendiam. Tak sedikitpun pemuda itu menoleh, apalagi menyapanya seharian ini.
Memang sih, ia masih agak sebal pada Gabriel gara-gara kejadian semalam. Tapi, itu kan sebuah ketidak sengajaan!
Ah sudahlah! Lama-lama Shilla pusing memikirkan hal ini!

Teng.. Teng..
Shilla yang memang sejak tadi tidak memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan, dan malah asik melamun, kini tersadar karena suara bel yang nyaring.
Bel tanda pulang sekolah itu sudah menggema ke seluruh penjuru sekolah.

Shilla menoleh ke sekelilingnya. Eh, dimana Gabriel? Perasaan, tadi pemuda itu masih duduk dibangkunya.

“Shill..”
“Eh..” Shilla reflex kaget ketika Sivia, sahabat barunya memukul pelan bahunya.
“Iya, Vi? Ada apa?” tanya Shilla.
“Mau gak, anter gue? Sebentaaar aja.” Pinta Sivia memohon.
“Oh, iya boleh.” Jawab Shilla seraya berdiri dan membereskan barang-barangnya.
“Yuk..”

**

“Kita mau kemana sih, Vi?” tanya Shilla, karena sejak tadi ia dan Via berjalan saaaangat lambat.
Via nyengir gaje membalas pertanyaan Shilla. Lalu gadis itu melirik handphonenya.
Dan tersenyum penuh misterius.

“Ke ruang musik, yuk!” ujar Sivia.
Alis Shilla saling bertautan, “Tumben lo, ngajak kesana. Mau ngapain?” tanya Shilla.
“Enggak papa. Lagi pengen aja. Yuk!” ujar Sivia.
Shilla hanya mengangguk-ngangguk saja dengan ajakan Sivia.
Sivia tersenyum lebar, dan langsung meraih lengan Shilla dan menggandenganya. Dan jujur saja, hal itu membuat Shilla merasa ngeri...

“Oh ya, Shill, gimana sama perasaan lo sekarang?” tanya Sivia, “Eee maksud gue, lo udah move on kan dari si Cakkadut itu?” ralat Sivia cepat.
Shilla tersenyum getir. Dan hal itu membuat Sivia merasa bersalah.
“Sorry, maksud gue--“
“Gak apa-apa kok, Vi.” Potong Shilla cepat. “Perasaan gue ya gitu aja. Mau gimana lagi, emang begitu kan kenyataannya? Cakka itu playboy! Yaudah, berarti gue harus move on secepatnya.” Jelas Shilla.
Sivia mengangguk-angguk, “Kalau hari ini ada yang nembak lo, apa lo mau jadi pacarnya?” tanya Sivia.
“Maksud lo, Vi?” tanya Shilla tak mengerti.
“Eee maksud gue.. emm.. Eh, Shill, udah nyampe nih.” Jawab Sivia grasu-grusu, tepat di depan sebuah ruangan. Ruang musik.
“Oh, yaudah, ayo masuk.” Ujar Shilla.
“Em, ee.. tapi, lo masuk duluan aja deh, Shill. Nanti gue nyusul. Gue kebelet nih. Pengen ke toilet dulu, hehe..” balas Sivia dengan alibinya.
Shilla hanya mengangguk saja. “Yaudah, cepetan, ya.” Ujar Shilla.
Sivia ngangguk-ngangguk antusias.

Shilla perlahan memegang knop pintu ruang musik setelah kepergian Sivia.

KREKK...
Decitan pintu yang terbuka membuat telinga Shilla merasa ngilu.
Baru saja Shilla akan melangkahkan kakinya kedalam, tiba-tiba ia mendengar sesuatu dari dalam.

CIIITT..
Shilla kenal betul dengan suara itu. Itu adalah suara gesekan antara lantai dengan kaki kursi yang di geser. Dan sepertinya, itu kursi yang ada di depan grand piano.
Shilla menyembulkan kepalanya kedalam. Mencoba melihat, siapa yang sebenarnya menyebabkan bunyi itu.

**

Gabriel menggeser sebuah kursi cukup panjang yang ada di depan sebuah grand piano berwarna putih di ruang musik.
Setelah itu, ia duduk dengan manis di kursi itu.

Gabriel menghela nafas berat. Ia meraba tuts piano  yang berwarna putih dan hitam itu.

“Gue benci mencintai sahabat gue sendiri.” Ucap Gabriel tiba-tiba.
“Ia adalah orang, yang sama sekali gak mencintai gue. Cinta gue... bertepuk sebelah tangan. Tapi, bodohnya, gue masih tetep aja cinta sama dia. Walaupun, dia masih mencintai mantan kekasihnya.” Sambungnya.
Gabriel menundukkan kepalanya. Meresapi apa yang sebenarnya ia rasakan, “Gue suka sama lo, Shilla. Sejak dulu! Gue sayang sama lo. Dan rasa sayang gue terhadap lo ini, lebih dari sekedar rasa sayang kepada sahabatnya. Gue... cinta sama lo, Shill. Gue benci saat lo suka sama Cakka. Gue benci saat lo jadian sama dia. Dan gue benci, karena lo lebih menyayangi dia daripada gue. Gue benci!”
Gabriel menelan salivanya dengan susah, “Tapi apa? Gue pengecut! Gue sama sekali gak bisa ngelakuin apa-apa. Gue gak punya nyali untuk ungkapin perasaan gue ke elo, Shill. Gak bisa...”
“Tapi, walaupun gue tau, lo masih cinta sama Cakka, perasaan gue ke elo gak berubah, Shill. Perasaan itu malah semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu.  Gue tetep cinta sama lo, Shill. Dan rasa itu gak akan pernah bisa berubah...”
Gabriel menghela nafasnya panjang, “Maaf, karena gue mencintai lo, Shill.” Ucapnya kembali.

Gabriel mulai menekan beberapa tuts piano dihadapannya.
Nada-nada yang diciptakan, mulai terdengar.

“...Kutau kusalah
Memaksa kehendakku
Tuk memilikimu...”
Ternyata, Gabriel telah menyelesaikan lagu ciptaannya. Dan kini, ia menyanyikan lagu tersebut.

“...Kuterluka tanpamu
Sungguh ku tak bisa membenci dirimu
Oh dirimu...”             
“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

**

Shilla menutup bibirnya dengan telapak tangan kananya. Ia masih belum percaya. Sama sekali belum!
Orang yang ada di depan grand piono itu ternyata adalah Gabriel.
Iya! Gabriel, sahabatnya.
Yang tidak bisa Shilla percaya adalah, ungkapan yang Gabriel ucapkan tadi.
Gabriel... mencintainya?
Tapi, kenapa pemuda itu tidak mengatakan hal itu sejak dulu?

“Bodoh! Gabriel bodoh!” ucap Shilla pelan. Dan entah sejak kapan, kini Shilla mengeluarkan air mata.


Shilla menangis semakin keras saat mendengar penggalan lagu yang Gabriel nyanyikan.

“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

“...Menanti... dirimu di hati...”

“BODOH!!!”

**

Gabriel menghentikan permainannya saat mendengar sebuah suara yang datang dari arah pintu.
Ia membalikkan tubuhnya, dan...
“Shilla...” ucap Gabriel terkejut.

Shilla berjalan menghampiri Gabriel. Matanya sembab. Ia menangis!

“Kamu...”
“Lo bodoh, Yel!!” hardik Shilla. Kini, ia sudah sampai di hadapan Gabriel.
“Gue...”
“Kenapa lo gak bilang dari dulu, sih?!”
“Eh...” Gabriel terhenyak mendengar ucapan Shilla barusan.
“Jadi selama ini lo suka sama gue, Yel? Lo menganggap gue LEBIH dari seorang sahabat? Kenapa.. kenapa lo gak bilang dari dulu, siiih?” Shilla mencoba mengatur nafasnya, yang kini tersenggal. Ia meluapkan emosinya. “Kenapa lo Cuma bisa diam? Dan ngebiarin rasa itu terus tumbuh di dalam hati lo, tanpa sedikitpun lo biarkan rasa itu menyeruak. Lo pendem semuanya!”

Gabriel menundukkan kepalanya. Menatap pada ubin-ubin yang terlihat sama sekali tak menarik saat ini. “Gue emang bodoh, Shill! Tolol! Gue pengecut! Gue sama sekali gak berani buat bilang semuanya sama lo. Gue Cuma berani buat pendem semuanya. Gue emang pengecut, Shill.” Ucap Gabriel. “Lagi pula, buat apa gue ungkapin semua ini, kalo ternyata, gue tau kalau elo gak punya perasaan yang sama ke gue. Percuma, Shill. Percuma.” Ia mendongakkan kepalanya. Menatap gadis  yang berdiri di hadapannya.

“Semuanya gak akan percuma kalau lo bilang ini dari awal.” Ujar Shilla.
Gabriel tersenyum kecut, “Iya. Dan pada akhirnya, sekarang gue udah terlambat.”
“Gak ada yang terlambat.” Potong Shilla.
Mata Gabriel membulat, “Maksud lo?” tanyanya.

Shilla tidak menjawab pertanyaan Gabriel. Ia malah berjalan mendekati kursi yang kini diduduki oleh Gabriel. Dan duduk di dekat pria itu.
Gabriel sendiri, memperhatikan gerak-gerik Shilla.
“Shill...”

Shilla mulai memainkan jemarinya di atas tuts-tuts itu.
Sebenarnya, gadis itu tidak sedang benar-benar memainkan piano itu. Ia hanya menekan asal.

“Ternyata.. laki-laki itu memang susah peka. Susah banget!” ucap Shilla. Matanya masih menatap ke jemarinya yang asik menekan tuts hitam putih itu.
Gabriel masih kebingungan.
“Tuh kan, udah dibilang begitu, masih belum juga peka. Padahal udah dikasih lampu hijau. Dasar cowok! Gak peka! Susah peka! Gak ngertiin perasaan cewek!” ucap Shilla lagi. memancing sih sebenarnya.
Beberapa detik, Gabriel masih sibuk dengan pikirannya. Tuh kan! Dasar gak peka!
Sejurus kemudian, ia mengembangkan senyumnya.

“Shilla..” panggil Gabriel.
Shilla menoleh, “Ya?”
“Gue.. udah lama gue suka sama lo. Gue cinta sama lo, Shill.” Ucap Gabriel.
Seulas senyum terukir dibibir manis Shilla.
Gabriel meraih tangan Shilla. Dan mengenggam tangan gadis itu.

“Would you be my girlfriend, Ashilla?”
DEG!!
Semua wanita pasti merasakan hal ini ketika seorang lelaki menyatakan cinta kepadanya.
Deg-degan gak karuan.
“Lo mau jadi pacar gue, Shill?” tanya Gabriel lagi.
Shilla tersenyum. lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Gue mau, Yel.” Jawabnya.
Senyum Gabriel semakin mengembang. Gabriel kemudian mengecup tangan Shilla.
“Makasih, Shill.” Ucapnya.
Sejurus kemudian, ia membawa gadis itu kedalam pelukannya.
Shilla pun membalas pelukan itu.

“Kamu tau, Yel? Aku merasa beruntung mempunyai kekasih, yaitu sahabatku sendiri.” Ucap Shilla.
“Aku juga, Shill.” Sahut Gabriel. “Seperti yang pernah kamu bilang dulu. Kalau sahabat kita jadi pacar kita...”
“Kita pasti akan merasa beruntung. Karena, sahabat pasti sudah mengetahui seluk beluk kita. Dan dia pasti bisa menerimanya.” Sahut Shilla melanjutkan.
Gabriel tersenyum dibalik punggung Shilla. “I’m lucky, Shill.” Ucap Gabriel.
Shilla tertawa kecil, “I’m too, Gabriel.”

“CIEEEE.....” Gabriel maupun Shilla sama-sama menoleh dan melepaskan pelukannya, saat mendengar sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga mereka.

“Ciee yang udah jadian.” Ucap salah seorang diantara mereka.
“Rio, Sivia, ngapain kalian disini?” tanya Shilla kepada dua orang itu.
“Yang paling harus ditanyain, kenapa Rio bisa ada disini?” sahut Gabriel.
Ternyata, kedua orang itu adalah Rio dan Sivia.

“Gue kan udah bilang, Yel. Gue punya sumber terpercaya disini, dan dia adalah pacar baru gue. Jadi, gue ikut-ikut aja.” Jelas Rio.
“Maksud lo?” Gabriel menatap Rio, kemudian Sivia dengan tidak percaya.
Rio tersenyum lebar dan menyebalkan, “Sivia pacar gue, Yel, Shill.”
“HAH??” Gabriel dan Shilla sama-sama melongo tak percaya.
“Kok lo mau sih, Vi, sama si Rio?” celetuk Shilla.
“Heh, harusnya gue tanya itu sama lo! Kok lo mau sih jadian sama si Gabriel item?” celetuk Rio membalas.
“Sialan lo, Yo!” balas Gabriel.
Sivia sendiri malah geleng-geleng dan tertawa kecil melihat ketiga sahabat itu.

Gabriel kembali membalikkan tubuhnya ke depan piano. Lalu, pemuda itu menekan tuts piano itu.
Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying...
Shilla, Rio, maupun Sivia tersenyum mendengar lagu yang Gabriel nyanyikan. Lalu, Shilla pun melanjutkan lagu itu.
“...Boy I hear you in my dreams..
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard...”

Dan akhirnya, mereka berempat pun bernyanyi bersama. Menikmati keindahan dan kebersamaan diantara mereka.
Ternyata, Cinta kepada sahabat sendiri itu tidak salah bukan?
Malah, lebih beruntung jika kita cinta pada sahabat kita sendiri. Karena, ia pasti bisa menerima keadaan kita. Baik buruknya kita, ia bisa menerima.

“...I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh...”

“...They don't know how long it takes
Waiting for a love like this
Everytime we say goodbye
I wish we had one more kiss
I'll wait for you I promise you, I will..”
“..I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we're in love every way
Lucky to have stayed where we have stayed
Lucky to be coming home someday...

THE END!!

**

Akhirnyaaaa selesai juga :D
Terima kasih buat yang udah baca cerita ini. Aylopyusomac yaa:*
Maaf kalo endingnya aneh. Pokoknya gak banget. Saya belum jadi penulis professional. *doainajabiarjadiprofesional.hiihi*

DON’T COPAS THIS STORY!! Okey? :)
DON’T BE SILENT READER! LEAVE A COMMENT AND LIKE, Please!

Thanks..
@murfinurh_

Lucky!! #cerpen 3/4

Ini lanjutannyaaaaa!!! :D
Saya sangat minta maaf jika ada pihak yang tersinggung dan merasa dirugikan (?) karena cerita saya ini. Cerita ini aseli hanya fiktif belaka, semata-mata karena pikiran saya. Maaf saya buat Cakka disini jadi rada... you know lah yaa..
I’m sorry maaf punten :)


PART 3 of 4
.
.


Keesokan harinya..

Seperti biasa, Jum’at ini, bel pulang berbunyi lebih cepat daripada hari biasanya.
Maklum lah, setiap hari Jum’at, laki-laki yang beragama Islam di anjurkan lebih-tepatnya-di-wajibkan untuk mengikuti Sholat Jum’at. Jadi, yaaa sekolah bubar lebih cepat.

Gabriel sendiri, memilih berdiam diri di ruang OSIS sembari mengetik beberapa tugas yang harus di selesaikannya.
Gabriel tidak..? ya, jelas tidak. –you-know-lah-Gabriel-itu-non-Islam-.

Eh, tunggu! Sepertinya Gabriel melihat Shilla. Sendirian? Kok.. sendirian? Mana si Cakka?
Gabriel mengangkat bahunya tak acuh.
“Tau ah..” ucapnya masa bodo.
Ah, sudahlah.. Gabriel empet juga karena seharian ini melihat Shilla begitu mesra dengan Cakka dikelas.
Sumpaaah..

*

Gabriel melirik jam tangan sporty yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Pukul 13.30.
Ia baru pulang hari ini. Dan sialnya, jalanan macet! Oh.. menjengkelkan!
Gabriel melirik kanan-kirinya. Mobil-mobil lain juga masih berusaha menyelip di antara mobil lainnya (seperti yang ia lakukan juga).
Namanya juga Jakarta. Bukan Jakarta kalo tidak macet seperti ini. Oh, macetnya Jekardaah..

Gabriel melihat sesuatu di antar mobil-mobil itu.
Bukan, Bukan! Ternyata mata Gabriel tertuju pada taman kota yang ada tak jauh dari tempatnya ini.

“Itu.. Cakka, kan?” Gabriel menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas.
“Iya, itu Cakka!” serunya sambil memukul setirnya. “Tapi kok dia, sama.. cewek? HAH?” Gabriel melotot kaget.
“Gak! Gak bisa dibiarin ini!”

Gabriel buru-buru mengemudikan mobilnya ke pinggir saat melihat ada tempat kosong. Ia menghentikan dan memarkir mobilnya disana.
Masa bodoh jika jalanan semakin macet karena ulahnya itu. Yang terpenting adalah, ia harus mendatangi Cakka!

“Liat aja, lo, Cakk! Gue bikin acar lo, nanti!”

*

TOK! TOK! TOK!
Gabriel mengetuk pintu depan rumah Shilla cukup keras.
Saking terburu-burunya, ia sampai lupa kalau sebenarnya rumah Shilla dilengkapi dengan bell. Bukankah memencet bell lebih mudah dibandingkan dengan mengetuk pintu sekeras mungkin seperti itu?

“Shillaaaaa!!!” teriak Gabriel tak henti-hentinya.

KREK!
Tiba-tiba, pintu terbuka. Dan kepala si mbok menyembul di balik pintu.

“Den Gabriel? Ada apa kemari?” tanya si mbok.
“Shilla ada, Mbok?” tanya Gabriel, to the point.
“Wah, non Shilla belum pulang, den. Tadi pak supirnya gak bisa jemput non Shilla. Jadi, si non mau pulang naik Taksi katanya.” Jelas si mbok panjang lebar.
Tanpa menunggu lama, Gabriel langsung berlari menuju motornya yang ia parkir di halaman depan rumah Shilla.

“Tin..Tin..”
Baru saja Gabriel akan memakai helmnya, terdengar suara klakson dari depan gerbang.
Gabriel melirik ke arah gerbang itu. Sebuah mobil berwarna biru yang tidak lain adalah sebuah Taksi, berhenti disana.
Merasa kelamaan menunggu pak Satpam membukakan pintu, akhirnya penumpang mobil itu keluar lebih dulu.
Gabriel yang sudah lebih dulu tau siapa penumpang taksi itu, buru-buru menghampirinya.

“Shilla..” Panggilnya.
Shilla sedikit terkejut dengan kedatangan Gabriel dirumahnya.
“Ada apa?” tanya Shilla. Sedingin mungkin.
Gabriel melengos mendengar nada bicara Shilla. “Ayo ikut gue!” titah Gabriel seraya menarik paksa pergelangan tangan Shilla.
“Ish, lepasin!” Shilla langsung menepis tangan kekar Gabriel dari pergelangan tangannya. “Ngapain sih, lo?”
“Gue mau buktiin sama lo, kalo Cakka itu bukan cowok yang baik.” Ucap Gabriel.
“Omong kosong! Berkali-kali lo bilang begitu sama gue. Tapi apa? Semua Cuma akal-akalan lo doang kan?” sahut Shilla seakan tak perduli.
Gabriel menggeleng. “Tapi gue serius, Shill! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Cakka selingkuh!”
“BOHONG!!” todong Shilla cepat. “Kamu jahat, Yel! Jahat! Kamu gak seneng ya, ngeliat aku seneng? Iya, hah? sahabat macam apa kamu? Kamu malah memperkeruh suasana. Kamu bikin aku... aku... ngerasa gak percaya lagi sama kamu, Yel.” Sambung Shilla, yang kini mulai bisa meredam emosinya.
Gabriel terdiam. Ingin sekali ia berkata ia. IYA, kalau dia gak senang melihat Shilla senang bersama orang lain! Tapi.. ia tidak bermaksud membuat persahabatan mereka hancur. Ia hanya ingin Shilla tidak merasakan rasa sakit yang sangat sakit jika melihat Cakka berselingkuh dengan mata kepalanya sendiri.
“Shill, aku Cuma...”
“Cuma apa?” potong Shilla cepat. “Udahlah, Yel. Aku capek! Dan kamu. Kamu gak usah urusin hidup aku lagi! gak usah ikut campur lagi!” ujar Shilla yang langsung membuat Gabriel tertohok.
Shilla menghela nafasnya. “Permisi!” tegas Shilla seraya mulai melangkahkan kakinya.
“Jangan salahkan aku, kalau itu beneran terjadi, Shill. Aku udah memperingatkan kamu. Walaupun, kamu gak mau dengerin.” Ucap Gabriel tanpa membalikkan tubuhnya untuk menatap Shilla.
Shilla sendiri menghentikan langkahnya sesaat. “Terserah..” jawabnya. Dan kembali melangkahkan kakinya.

Gabriel menghela nafasnya kembali.
Oke. Sahabatnya, sudah tidak mempercayai dirinya. Dan malah mempercayai kekasihnya, yang padahal belum lama ia kenal.
Gabriel sudah tidak berharga dalam hidup Shilla. Secara tidak langsung, Shilla menginginkan Gabriel untuk pergi jauh-jauh dari hidup gadis itu.
Okey. Gabriel akan melakukannya.
Kalau perlu, pindah sekolah pun Gabriel bersedia. Sayangnya, Gabriel tidak yakin dengan hal itu.

“Gue akan lakuin itu, Shill. Gue akan menjauhi lo. Dan gak akan mengusik lo kok. Tapi, lo harus tau, kalau semua yang gue omongin itu benar adanya, Shill.” Ucap Gabriel.

**

Gabriel memetik gitarnya. Lalu menuliskan angka-angka dan not balok pada sebuah kertas.
“Hanya...” ia kembali memetik gitarnya. Dan kembali menuliskan not angka serta not balok pada kertas tadi.
Ceritanya sih, dia sedang membuat sebuah lagu. Lagu apa? Lihat saja nanti.
Gabriel menggigit ujung pensilnya. Merasa kebingungan untuk kata-kata setelah ‘Hanya’ tadi.

“HOIII!!!”
“GILAK!!”
“HAHAHA...”
Gabriel sangat terkejut dengan kedatangan Rio yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.
“Ngagetin aja lo! Kalo mau masuk, ketuk pintu dulu dong!” Sahut Gabriel.
“Hehe..” Rio nyengir garing. Dan langsung mengambil tempat di tempat tidur Gabriel.
Mata Rio tertuju pada sebuah kertas yang berada di meja belajar dihadapan Gabriel saat ini.
Rio buru-buru mengambil kertas itu, “Kertas apa nih, Yel?” tanyanya.
Gabriel membelalak saat matanya mendapati kertas itu berada di tangan Rio.
“Sini, balikin!” ujar Gabriel dengan mengambil alih paksa kertas itu.
“Ciee.. lagi bikin lagu, ya, Yel?” tanya Rio menggoda.
“Sok tau!” jawab Gabriel.
“Ciee.. buat Shilla, ya, Yel?” tanya Rio lagi.
“Diem deh, lo! Mau ngapain lo kesini?” tanya Gabriel gak nyantai banget.
“Santai dong, Yel. Gue Cuma mau ngingetin lo doang.” Jawab Rio.
“Ngingetin apa?”
Rio menunjuk sesuatu menggunakan dagunya.
Mata Gabriel mengikuti arah yang ditunjuk oleh Rio tadi.
Kalender?
Gabriel terdiam sebentar. Oh. Iya. Gabriel ingat.
Hari ini hari Sabtu. Malam minggu lebih tepatnya. Dan Rio, cowok itu mau jalan ber-du-a sama Shilla.
“Kenapa Shilla milih perginya malem sih, Yo?” tanya Gabriel yang sudah mengerti dengan maksud Rio.
“Ya, mana gue tau. Mungkin, Shilla pengen malem mingguan sama gue. Hehehe..” jawab Rio yang langsung mendapat toyoran gratis dari Gabriel.
“Aduh. Tenang aja, Yel, gue gak bakal nikung lo, kok.” Ucap Rio.
“Awas aja kalo lo bohong.” Balas Gabriel.
“Iyalah. Lagian, gue udah punya pacar baru tauk!” jawab Rio menyombongkan diri.
“Preett!” respons Gabriel.
“Pratt preet pratt preet lo! Gue serius.” Bela Rio.
“Lha, paling-paling sama cewek jelek. Soalnya kan lo jelek. Jadi, gak mungkin ada cewek cakep yang mau sama lo.” Gabriel memeletkan lidahnya.
“Sial! Gue ganteng begini dibilang jelek. Ada juga elo yang jelek. Buktinya, lo gak pernah punya pacar kan?”
GLEKK!! Benar juga kata Rio.
“Ah, udah lah. BTW, katanya seharian ini lo ngejauh dari Shilla, ya? Dan gak perduli apapun yang terjadi sama Shilla seharian ini di sekolah?”
Gabriel mengerutkan alisnya. Darimana Rio bisa tau hal itu?
“Sekalipun... Shilla masuk UKS pas mimisan tadi siang?” sambung Rio kembali.
“Dari mana lo tau, Yo?” tanya Gabriel.
Rio tersenyum lebar. “Gue kan punya sumber Informasi terpercaya.” Jawabnya.
Gabriel menggeleng pelan. Tak mengerti dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Susah di tebak.
“Udah ah, gue mau cabut dulu. Gue kan mau jalan-jalan BER-DU-A sama Shilla.” Ucap Rio dengan menekankan beberapa kata.
“Terserah lo lah.” Tanggap Gabriel dengan malas.
Rio tertawa pelan seraya beranjak dari duduknya.
“Eh, Yel, kok gue ngerasa malam ini akan terjadi sesuatu hal yang tak terduga, ya?” sahut Rio sebelum keluar dari kamar Gabriel.
“Ngomong pake bahasa apa sih, lo?”
“Hehe.. Cuma firasat, sih.” Kok jawaban Rio gak nyambung sih?

**

“Duh, Yo, gue bingung nih mau beli hadiah apa.” Ucap Shilla.
Shilla dan Rio sudah berkali-kali memutar-mutar mall ini. Tapi, Shilla belum juga merasa ada yang cocok untuk ia beli.
Sebenarnya, Rio ingin memberikan saran untuk hadiah yang akan Shilla berikan pada Cakka.
Rio ingin bilang, ‘Shill, ke toko mainan aja, yuk! Disana kana da pistol-pistolan tuh. Beliin itu aja buat Cakka. Sebenernya sih, gue pengennya beliin pistol beneran buat Cakka.’ Tapi, niatnya untuk bicara seperti itu buru-buru ia urungkan.
Tapi beneran deh, Rio pengen beli pistol di toko mainan itu. Biarpun Cuma pistol mainan, tapi kan lumayan, ada pelurunya. Ya walaupun pelurunya juga, peluru mainan, tapi kan kalau terkena tubuh sakit juga.
Tapi, Rio sih pengennya pistol beneran aja sekalian. Biar si Cakka tertembak dan rubuh seketika. Kalau bisa sih, ia pengen beli Dynamite aja sekalian. Biar hancur lebur seketika. Hihihi..
Jahat banget.

“Yang menurut lo cocok aja buat si Cakka, Shill.” Ujar Rio. “Yang cocok seperti pistol atau granat misalnya.” Sambung Rio dalam hati.
“Iya. Tapi gue gak tau apaan.” Jawab Shilla.
Shilla menghentikan langkahnya, tepat didepan sebuah toko peralatan Olahraga.
Matanya tiba-tiba berbinar saat melihat sebuah benda yang ada di dalam toko itu.

“Gue tau, gue mau beliin Cakka apa.” Ucap Shilla pada Rio.
Rio tidak begitu penasaran dengan apa yang Shilla maksud, tapi.. “Beli apa?” tanyanya.
“Ayo ikut!” ujar Shilla seraya menarik pergelangan tangan Rio, dan menuntunnya untuk masuk ke dalam Toko itu.

**

Rio terus mengumpat hingga kini ia dan Shilla sudah berada di depan kasir.
Rio mengumpat sendiri karena Shilla memberikan sebuah benda yang tak pernah gadis itu berikan kepadanya atau kepada Gabriel sekalipun.
Benda bulat berwarna Orange itu kini sudah diberikan pada Shilla oleh mbak-mbak kasir. Dan benda itu sudah menjadi milik Shilla. Saat ini.
“Cakka pasti suka bola ini. Dia kan suka banget main basket.” Ucap Shilla seraya berjalan keluar dari Toko itu.
“Gue sama Gabriel juga suka banget main basket, Shill.” Sahut Rio. Menyindir sih sebenarnya.
Iri? Iya! Jujur saja Rio iri. Seumur-umur, Shilla belum pernah membelikan bola Basket padanya ataupun Gabriel. Padahal kan, gadis it utu sendiri kalau kedua sahabatanya menyukai olahraga itu.
Entah Shilla tak mendengar ucapan Rio atau bagaimana, gadis itu malah terus memperhatikan kantung plastic yang berisi benda-bulat-orange itu.
“Oh, ya, Shill, kita mau kemana lagi, nih?” tanya Rio.
“Gimana kalau.. main di TimeZone?” ujar Shilla.
Rio berfikir sejenak. “Enggak deh, enggak. Mending kita ke café aja. Gue laper, nih.” Jawab Rio.
“Yaudah.” Balas Shilla.
Meraka berdua pun berjalan menuju sebuah café yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sesampainya di café tersebut, Shilla dan Rio sama-sama mencari tempat yang nyaman.
“Disana aja, Yo.” Shilla menunjuk sebuah meja yang berada dekat dengan jendela.
Rio sih ngikut-ikut saja. Yang penting makan!

Rio yang lebih dulu duduk di salah satu kursi di meja itu.
Shilla tiba-tiba menghentikan langkahnya sebelum sampai di meja tujuannya tadi.

“Cak-ka..” Ucapnya tertahan.
Alis Rio naik sebelah. Sejurus kemudian, ia mengikuti arah pandang Shilla.

“Cakka..” Shilla mengulang ucapannya kembali.
Rio sendiri sudah mengepal tangannya kuat-kuat.
“Kurang ajar!” umpatnya.
Rio kembali menoleh pada Shilla. Tubuh gadis itu kini terlihat bergetar. Tangannya masih memeluk erat benda orange didalam kantungnya.
Shilla merasakan perih pada matanya saat melihat Cakka, sang Ke-ka-sih, kini sedang duduk manis bersama seorang wanita. Mereka terlihat sangat akrab dan... mesra.

“Gue harus kasih dia pelajaran!” Rio bangkit berdiri dari duduknya.

Shilla tetap berdiri pada posisinya. Pipinya kini sudah basah dengan air matanya yang entah sejak kapan sudah keluar. Ia tak peduli dengan ucapan Rio barusan.

**

Gabriel merapatkan topinya. Menyembunyikan wajahnya dari sekitar.
Lalu, ia berjalan ke sebuah meja yang tidak jauh dari meja tujuan kedua sahabatnya. Shilla dan Rio.
Ya. Sebenarnya, sejak tadi Gabriel mengikuti Shilla dan Rio selama di mall ini.
Rencananya untuk menjauhi Shilla ternyata tidak dapat ia lakukan. ia tidak bisa melakukan itu. Tidak.
Oh ya, Ia juga tahu kalau Shilla membelikan sebuah bola basket untuk ‘kekasihnya’ itu. Sama seperti Rio. Ia juga merasa kesal.
Oh ya, jangan tanya mengapa Gabriel menggunakan topi untuk menutupi wajahnya. Dia kan lagi nguntil (?) hehehe..

“Cakka..”
“Kurang ajar!”
Gabriel menoleh cepat saat mendengar suara Shilla yang diikuti oleh Rio terdengar olehnya.
Gabriel mengikuti arah pandang Shilla dan Rio.
“Sh*t!!” umpat Gabriel.

Gabriel melihat Rio mengepal tangannya kuat-kuat. Lalu, sahabatnya itu berjalan menghampiri meja ‘sepasang kekasih’ yang berada tak jauh dari meja mereka.

“Gue harus bantu Rio!” Tegas Gabriel. Dan pemuda itupun ikut bangkit dari tempatnya.

**

BRAKK!!
“Heh! Apa-apaan lo, Cakk?!” Rio menggebrak meja Cakka. Cakka langsung beringsut karena kaget.
“Ngapain lo disini?” tanya Cakka sengit. Tangannya masih menggenggam kuat tangan kekasihnya. Oh mungkin.. ‘selingkuhannya’.

Rio langsung menarik kerah baju Cakka. Dan mencengkramnya dengan kuat.
“Harusnya gue yang tanya itu sama lo! NGAPAIN LO DISINI, HAH? SELINGKUH? IYA? Biad*b!!” BUG!! Rio langsung melayangkan tinjunya tepat ke wajah Cakka.
“Apaan sih lo, Yo? dateng-dateng langsung nonjok gue begini! Segala nuduh gue selingkuh! Selingkuh apa? Orang sinting memang lo!” balas Cakka.
Wadezig!!!
Cakka merasakan wajahnya sakit kembali. Ia ditonjok kembali oleh... bukan! Bukan Rio yang menonjoknya.
“Apa lo bilang? Rio nuduh lo selingkuh? Nuduh? Iya, hah?! ini namanya bukan nuduh! Tapi fakta!”
Cakka memicingkan matanya. Lalu tersenyum remeh. “Tuan Gabriel juga ada disini ternyata. Lo berdua mau nyerang gue abis-abisan?”
“Nyerang?” Sahut Rio. Sebenarnya tadi ia sempat kaget dengan kedatangan Gabriel yang tiba-tiba seperti itu. Tapi sudahlah. “Kita bukan tipe orang yang suka tawuran, bro!” sambungnya.
“HAHA bisa ngelawak juga lo ternyata.” Sahut Cakka yang membuat mata Rio membulat.
“Ah, banyak cingcong lo berdua!” BUG!!! Gabriel kembali menonjok Cakka. Acara pun dimulai kembali setelah iklan cingcong tadi.
“LO udah ngehianatin sahabat gue! Lo udah bikin dia sakit hati!” BUG!! Rio ikut menonjok Cakka dengan keras.
“LO...!” Gabriel menunjuk wajah Cakka dengan penuh amarah.

BUG!!!

“Aww!!”
“SHILLA!!!”

Ups! Gabriel… salah sasaran!

Shilla memegangi pipinya yang –tidak sengaja- ditonjok Gabriel. Usahanya untuk ‘membela Cakka’ ternyata hanya membuat dirinya terluka.
“Berhenti, Yel, Yo!” ucap Shilla dengan tegas. Tangannya masih memegangi pipinya yang terasa memar.
“Shill, Ma..” Shilla langsung menepis kasar tangan Gabriel yang sudah terulur untuk memegang pipinya.
Shilla menatap tajam pada Gabriel, lalu berbalik pada Cakka. Ia tersenyum dengan penuh paksa pada pemuda itu.

“Puas lo, Kka? PUAS, HAH? Jadi, semua yang temen gue omongin itu bener? Lo Cuma mau mainin gue doang? IYA?” Kata Shilla penuh penekanan.
Cakka terdiam.
“JAWAB, KKA! JAWAB!” Shilla mendorong kasar tubuh Cakka.
Shilla terisak pelan. “Kita putus! Gue benci sama lo. BENCI!!!” Shilla langsung membalikkan tubuhnya. dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu, yang kini ramai karena mereka.

Gabriel menatap Cakka penuh amarah. Lalu berbalik kea rah cewek tadi –yang kini hanya berdiri tak jauh dari mereka- yang baru ia sadari bahwa itu adalah Dea, kakak kelasnya.
Gabriel tak ingin lama-lama berada disini. Ia langsung mengambil langkah keluar dari tempat ini.

“Gue masih belum puas, Cakk.” sahut Rio tiba-tiba. Matanya menatap tajam setajam elang, pada Cakka.

BUG!!!
Dan satu tonjokkan melayang kembali ke wajah tampan Cakka.

**
TBC
**

Thanks buat yang udah mau baca :)
DON'T BE SILENT READER! PLEASE, LEAVE A COMMENT AND LIKE!
tengkyuuu {}

@murfinurh_

Lucky!! #cerpen 2/4

Ini lanjutannya… semoga suka ya;)
Maaf ceritanya gaje bin aneh


PART 2 of 4
.
.
.

Setelah melihat sms dari Shilla tadi siang, Gabriel langsung saja berlari pulang ke rumahnya yang berada di seberang rumah Rio. Rio sendiri ingin menahan Gabriel untuk tidak pulang dulu. Ada sesuatu yang harus Rio katakana pada Gabriel. Dan itu penting! Tapi sayang, Gabriel terlanjur berlari dan tak memperdulikan Rio.

Gabriel mengurung diri di kamar. Ia merutuki dirinya sendiri, yang bodoh karena tidak memanfaatkan waktu dari dulu.
“Bodoh!” cercanya.

Handphonenya berdering. Dan saat itu pula, terlihat wajah seorang gadis cantik di layar handphonenya itu.

Shillaaaaa’s calling

Gabriel membanting handphonenya. Sama sekali tak berminat menjawab telfon dari gadis itu. Terlanjur sakit hati.

*

Gabriel melongo parah melihat Shilla yang baru saja datang dan memasuki kelas.
Shilla. Bersama. Cakka. Bergandengan.
Gabriel geleng-geleng kepala melihat pemandangan itu. Apalagi mendengar Shilla yang tertawa renyah dengan Cakka. Dia semakin… cemburu?

“Pagi, Yel.” Sapa Shilla setelah sampai di mejanya. Di sebelahnya, ada Cakka yang tetap dengan tampang sok’ nya itu.
Gabriel tersenyum canggung. “Pagi, Shill.” Jawabnya.
Shilla balas tersenyum, lalu menyimpan tas selempangnya di kursi samping Gabriel. Setelah itu, Shilla meninggalkan kelas bersama Cakka. IYA! SAMA CAKKA!
Tapi, sebelum mereka pergi, Gabriel melihat wajah Cakka yang menyeringai dan tersenyum... meremehkan ke arahnya? Kenapa tuh anak?

*

“Shill..” panggil Gabriel dengan suara yang pelan. Maklum. Di depan sedang ada pak Duta yang sedang mengajar.
Shilla yang sedang memperhatikan penjelasan dari Pak Duta, beralih menatap Gabriel. “Ya?”
Gabriel tiba-tiba terlihat bingung. “em.. aduh, gimana, ya?” ucap Gabriel kebingungan sendiri.
“kenapa, Yel?”
“Emm.. Sori, Shill. Gue..”

“GABRIEL! SHILLA! Jangan mengobrol saat saya sedang berbicara di depan! Lebih baik kalian diam dan perhatikan apa yang saya jelaskan!” Pak Duta tiba-tiba menyerocos di depan saat melihat Shilla dan Gabriel yang sedang mengobrol itu.
“Mengerti?!” tambah pak Duta.
Gabriel dan Shilla buru-buru mengangguk, “Ba-baik, Pa.”
Dan akhirnya, Gabriel gagal mengatakan tentang hal ‘itu’ pada Shilla.

*

“Gabriel..” panggil Shilla.
Gabriel yang sedang membereskan buku-bukunya ke dalam ransel hitamnya itu, menoleh pada gadis yang duduk di sebelahnya, “Ada apa, Shill?” tanya Gabriel.
“Hari ini gue bareng lo, ya?” pinta Shilla.
Gabriel tersenyum lebar. Dalam hatinya, ia bersorak-sorak gembira. “Tentu saja. Kenapa engga?” jawab Gabriel diiringi senyum manisnya.
Shilla membalas senyuman itu.
“Emang Cakka kemana Shilla?” tanya Gabriel yang kini sudah mulai berjalan keluar kelas bersama Shilla.
Air muka Shilla tiba-tiba berubah seketika. “Katanya, sih, dia mau nganter Mamanya belanja.” Jawabnya.
Gabriel mengangkat bahunya, tak yakin pada cowok itu. “Yaudahlah, yuk kita capcus.”
Shilla tertawa geli, “Apaan sih, lo? Kayak banci aja deh..”
“Woo.. enak aja lo!” Gabriel langsung mencubit  hidung Shilla sampai hidungnya merah.
“duuh.. sakit!” Shilla mengucek-ngucek hidungnya itu.
Gabriel hanya geleng-geleng kepala.
“Silahkan masuk, tuan Putri..” Gabriel membukakan pintu mobil bagian penumpang untuk Shilla.
Shilla masih belum percaya kalau sekarang sudah sampai parkiran. Oke, ini lebay.

Gabriel mulai meng-gas mobilnya saat ia dan Shilla sudah siap di tempat. Dan melaju meninggalkan Sekolah.

“Yel,” panggil Shilla.
Gabriel menoleh sebentar lalu mengedikkan dagunya; apa?
“Lo tau ga, gue seneeeeeng banget bisa pacaran sama Cakka.”

DEG! GLEK!
Gabriel melotot kaget namun tetap menyembunyikan ke terkejutannya itu dari Shilla.
“K-k-kok bisa?” OH NO! ucapan Gabriel terdengar konyol di telinganya sendiri.
Suaranya terdengar... bergetar mungkin?

“Iya, jadi gini lho, masa ya, waktu tadi pagi pas dia jemput gue dirumah, dia kasih surprise gitu buat gue. So sweet bangeeet deh. Jadi tadi tuh…...”
HEY! Siapapun yang punya penyumbat telinga, gue pinjem! Penyumbat telinga, ya! Jangan penyumbat WC! Gue butuh banget! Butuh penyumbat telinga! Bukan penyumbat WC! Gak siap nih dengerin cerita Shilla tentang si landak jelek itu!, Gabriel mengoceh sendiri dalam hatinya.
Dan sebenarnya tidak ingin mendengar cerita Shilla itu. Semoga Gabriel berhasil! Walaupun ia rasa, itu memang tidak sopan sih..

*

Suatu sore, Gabriel menemui Shilla di taman. Biasanya, Shilla selalu ada di taman setiap pukul 17.00 sore di hari sabtu seperti ini.

“Shillaaa…” benar kan. Shilla ada di taman. Sedang bermain dengan laptopnya. What the? Dengan laptop? Oke, bisa jadi.

Shilla menoleh pada sumber suara yang terdengar familiar di telinganya itu. “Eh, elo, Yel.” Ucapnya seraya tersenyum menyambut sahabatnya itu.
Gabriel langsung saja duduk di samping Shilla. Di atas rerumputan hijau yang terlihat indah itu.
“Lagi apa?” tanya Gabriel. Basa basi.
“Biasa.” Shilla memperlihatkan layar laptopnya pada Gabriel. Oh. Seperti biasa. Shilla sedang menulis cerita.
Gabriel hanya membulatkan mulutnya seraya mengangguk-angguk.
“Shilla, gue boleh tanya sesuatu?” tanya Gabriel. Lebih tepatnya meminta izin, mungkin?
Shilla mengacungkan jempol tangan kanannya. Mengisyaratkan ‘iya’.

“Menurut lo.. ‘Sahabat jadi Cinta’ tuh, apasih?” tanya Gabriel. Iseng aja sih sebenernya.
Shilla menghentikan jari tangannya yang bergerak cepat di atas keyboard laptopnya.

“Ummm….” Shilla mengetuk-ketukan jari telunjuknya di dagu. Berpikir seperti orang dewasa.
“Menurut gue, Sahabat Jadi Cinta itu.. Spesial. Dan beruntung.” Jawab Shilla dan tersenyum. merasa puas akan jawabannya.
Gabriel sendiri mengerutkan keningnya, “Kenapa? Can you tell me?” tanyanya.
Shilla menghela nafasnya, “Soalnya, kalau Sahabat itu, pasti udah tau seluk beluk dan baik buruknya diri kita. Kalau sahabat kita sendiri yang mencintai kita, berarti dia bisa terima dong walaupun kita punya kekurangan. Ya, misalnya gini. Gue itu punya sifat bawel yang berlebihan, walaupun itu memang bener. Hehe.. terus..”
“Terus?” Gabriel menyahut. Merasa asik dengan obrolannya.
“Hehe.. terus, diantara elo atau Rio itu naksir gue. Haha.. cieee..”
Gabriel sadar tak sadar kedua ujung bibirnya tertarik keatas. Mengembangkan senyuman manis sekaligus.. emm.. senang. Hihi.

“terus, kalau beneran sahabat lo sendiri suka sama lo gimana?” tanya Gabriel. Lho? Gabriel tanya apa tadi? Haduuhh..
Shilla menggeleng pelan sembari tertawa kecil. “Gak tau. Tapi, gue kan udah punya Cakka.”
GLEK! Sekali lagi, Gabriel susah menelan salivanya!

“Emanya, lo gak minat buat putus dari Cakka? Dan cari cowok lain yang lebih baik dari dia?”
“WHAT?!!!”
Shilla melongo parah. Begitupun dengan Gabriel yang tak sadar telah mengucapkan pertanyaan konyol seperti itu.

*

Hari terus berganti dan berganti. Tak terasa, sudah hampir dua minggu Shilla berpacaran dengan Cakka.
Sudah dua minggu Shilla selalu bermesraan dengan Cakka. Itu membuat Gabriel sangat muak!
Sudah dua minggu Gabriel merasa sangat sangaaaaat sakit hati dan cemburu. Dan sudah dua minggu pula, Gabriel di acuhkan Shilla.
Dan dua minggu itu pula, Shilla tidak pernah menghubungi Gabriel, dan tidak menanggapi cowok itu.

Disisi lain, Rio, selaku penengah diantara dua sahabatnya itu, sedang berusaha menjelaskan sesuatu pada Gabriel. Sekali lagi, PENTING!

Rio menghempaskan tubuhnya di atas bed milik Gabriel. Gabriel menautkan alisnya. Tumben nih anak grasa-grusu banget pas datang ke rumahnya?
Tanpa basa-basi, Gabriel langsung bertanya maksud kedatangan sobatnya itu.
“ada, apa, Yo?” tanya Gabriel.
Rio bangkit, lalu turun dari bed dan duduk di atas karpet yang tergelar di lantai dekat tempat tidur. Gabriel pun ikut duduk bersama Rio.
“gue to the point aja, ya.” Ucap Rio. “ada sesuatu yang harus Lo, dan Shilla ketahui.” Sambung Rio. Serius.
“apaan?” tanya Gabriel yang sepertinya sudah penasaran.
“tentang Cakka.” Gabriel semakin mengerutkan kening. Ada apa dengan cowok itu? Rio.. tau sesuatu hal?
“dia itu bukan cowok yang baik, Yel! Dia licik!” ucap Rio. Setengah mati menahan amarahnya.
Gabriel membulatkan matanya. “dari.. dari mana lo tau, Yo?”
Rio tersenyum getir. “dia dulu satu sekolah sama gue, sebelum akhirnya pindah ke sekolah lo.” Jawab Rio.
Oh, astaga! Gabriel lupa. Saat Cakka memperkenalkan diri, Cakka kan juga menyebut asal sekolahnya. Tapi, kenapa Gabriel lupa kalau itu adalah sekolah Rio?
“kenapa lo bilang dia licik, Yo?” tanya Gabriel akhirnya. Sebenarnya, Gabriel juga merasakan hal yang sama. Eh, hal yang sama apaan? Cinta sama Rio? Lho.. ngelantur deh gue!

Rio menghela nafasnya berat. “lo tau gak, apa penyebab hancurnya hubungan gue sama Ify, dulu?” tanya Rio.
Gabriel mengangguk. “karena Ify direbut cowok lain ‘kan?”
Rio mengangguk lemah, “dan pelakunya adalah Cakka, Yel.”
Gabriel melongo. Menatap tak percaya pada sahabatnya itu.
“Cakka itu Playboy! Dia bakal ngelakuin apa aja buat cewek yang dia inginkan, walaupun cewek itu milik orang lain. Dan biasanya, kalo dia udah dapetin tuh cewek orang, beberapa hari kemudian, dia bakal ngelepas cewek itu dengan tidak sewajarnya.” Rio menarik nafasnya sebentar. “seperti saat dia ngerebut paksa Ify dari gue. Gue tau, Ify sebenernya gak mau. Tapi, si Cakka berengs*k itu maksa. Tapi, lusanya, setelah Ify direbut, dia tiba-tiba mutusin Ify dan mencampakkan Ify. Berengs*k memang!” ucap Rio ber-api-api.
Gabriel menggeleng-geleng. Se tega itu kah seorang Cakka?. “tapi, Shilla kok masih bertahan sama dia, ya? Udah dua minggu.” Ucap Gabriel.
“cewek yang single, sama cewek yang milik orang lain, beda urusannya, Yel. Kalo untuk cewek yang single seperti Shilla, biasanya dia memang berhubungan lama. Tapi, di belakang dia berkeliaran dengan cewek lain.”
Mata Gabriel kontan membulat. “kurang ajar!” umpatnya.
“gue gak mau sampe Shilla ngalamin sakit hati karena cowok itu!”
“gue juga, Yel. sebaiknya, kita harus buat Shilla putus sama Cakka, Yel!” tegas Rio.
Gabriel mengangguk. “Dari awal gue juga udah yakin kalo Cakka bukan cowok yang baik.” Iel terdiam sebentar, “tapi, Yo, pas gue bilang itu sama Shilla, keburu ketahuan pak Duta kalau gue ngobrol.” Jelas Gabriel.
“Sial!” umpat Rio. “pokoknya, gimanapun caranya, kita harus bikin Shilla sama Cakka pisah, Yel.” Desak Rio.
“gue aja, Yo. Lo gak perlu ikut andil dalam masalah ini.” Tegas Gabriel.
“lho? Gue kan juga sahabatnya, Yel!” bela Rio merasa tersingkir.
“setidaknya, kalau Shilla marah sama gue, dia masih punya lo, dan bisa percaya sama lo.” Jelas Gabriel.
Akhirnya, Rio mengangguk juga. “yaudah, gue juga bakal bantu doa aja, deh.” Ucap Rio diiringi cengirannya.
“sial, lo!” sahut Gabriel dan akhirnya tertawa bersama Rio.

*

Hari ini, Gabriel akan mulai menjalankan rencananya.
Gabriel berdiri di ambang pintu kelas, menunggu kedatangan Shilla –yang pastinya datang bersama Cakka.
Benar saja, beberapa menit kemudian, gadis itu sudah datang dan berjalan menuju kelas bersama Cakka di sampingnya.

“Shilla..” Gabriel menarik pergelangan tangan Shilla. Gadis itu mendelik sebal.
“Apa?” tanyanya dingin.
Gabriel jadi gugup sendiri saat seperti ini, “Umm.. Gue mau ngomong. Sebentar.” Ucapnya.
Cakka menaikan sebelah alisnya, menatap Gabriel dengan –gaya-sok-nya-lagi.
“Berdua.” Tambah Gabriel seakan menjelaskan pada Cakka bahwa ia hanya ingin bicara empat mata dengan Shilla.

Gabriel langsung menggenggam dan menarik tangan Shilla dan membawa Shilla –secara paksa- ke taman.
Shilla sendiri merasa pasrah saja.
Ya. Tapi ia tak dapat berbohong kalau dia merindukan lelaki di hadapannya ini. Dan ia juga... merindukan genggaman itu.

*

“Ada apa, sih?” tanya Shilla setelah ia dan Gabriel duduk di sebuah kursi di taman sekolahnya.
“Apa lo.. Apa lo bener-bener mencintai Cakka, Shill?” tanya Gabriel to the point.
Shilla menautkan kedua alisnya, bingung. “Untuk apa tanyain itu? Jelas-jelas jawabannya IYA.” Jawab Shilla dengan penuh penekanan.
Gabriel hanya mengangguk-ngangguk, “Walaupun Cakka itu bukan cowok yang baik, apa lo tetep hanya cinta sama dia?” tanyanya lagi.
Shilla mendelik, “Ck! Lo kenapa sih, Yel? Selalu bilang kalau Cakka itu cowok yang gak baik? Lo gak suka kalo gue pacaran sama dia? Hah?” balas Shilla dengan menahan amarahnya.
“IYA! Gue gak suka! Gue maunya ELO PACARAN SAMA GUE! BUKAN SAMA CAKKA!” jawab Gabriel dalam hati. Oh, Gabriel tidak boleh menjawab seperti itu. Terlalu cepat!
“Bukan gitu, Shill. Tapi—“
“Alaah.. udahlah. Lo sekarang berubah, Yel! Lo dulu pernah bilang, kalau gue bahagia, lo juga bahagia. Tapi, sekarang, apa? Lo malah pengen ngehancurin kebahagiaan gue dengan kata-kata aneh lo, itu kan?” serang Shilla langsung.
Gabriel langsung tercengang mendengar ucapan Shilla itu. APA-APAAN INI? Tidak! Gabriel tidak bermaksud begitu!
Shilla langsung berdiri, dan tanpa permisi, meninggalka Gabriel sendiri di taman.

Gabriel menatap punggung gadis itu yang kini mulai menghilang.
“Bodoh!”
Benar kan! Shilla marah padanya. Hh.. untung Rio gak ikut-ikutan.

*

Gabriel melongo saat memasuki kelas, karena melihat Alvin yang tengah duduk di bangkunya. Lebih tepatnya, di kursi Shilla.
Gabriel berjalan dengan penuh kebingungan menuju bangkunya.
Alvin sendiri sedang sibuk dengan buku-bukunya. Maklum lah, Alvin itu anak yang terlanjur pintar dan rajin.

“Eh, Vin. Kenapa lo duduk di sini?” tanya Gabriel setelah sampai di bangkunya.
Alvin mendongak, menatap Gabriel di balik kacamatanya.
“Hhh..” Alvin menghela nafas, “Shilla yang suruh.” Jawabnya sembari melirik bangkunya yang kini di duduki Shilla bersama Cakka.
Gabriel mengikuti arah pandang Alvin. Oh, benar. Shilla sekarang lebih memilih duduk bersama Cakka di bandingkan dengan Gabriel.
Ya. Sudah. Lah. Kalo. Shilla. Mau. Begitu.

Gabriel dengan pasrah duduk di kursinya.

“Lo, sama Shilla, lagi ada masalah, ya, Yel?” tanya Alvin.
Gabriel menoleh pada cowok bermata sipit itu. Gabriel mengangkat bahunya, “Mungkin..” jawabnya sekenanya.

Baiklah. Gabriel benar-benar tidak punya keberuntungan untuk bersama Shilla.
Pertama, antar jemput Shilla, kini sudah dilakukan oleh Cakka.
Kedua, perhatian dan tawa Shilla, kini sudah Shilla berikan hanya untuk Cakka.
Dan sekarang, untuk tempat duduk, Shilla juga lebih memilih duduk bersama Cakka.
Oke. Sekarang hanya tinggal Gabriel si ‘Pecinta Diam-diam’ yang masih enggan untuk mengungkapkan perasaannya, dan akhirnya di dahului oleh orang lain. Miris!

*

“Yel..”
Baru saja, Gabriel mau masuk ke dalam rumahnya. Tiba-tiba, tangannya di cekal seseorang.
Gabriel menoleh dengan malas.

“Ada apa, Yo?” tanya Gabriel kepada seorang cowok yang mencekal lengannya tadi. Rio.
“Shilla gimana, Yel?” tanya Rio, dengan mata yang berbinar.
Gabriel melengos, lalu menarik lengannya dari cekalan Rio. “Gue.. Gak mau bahas tentang dia lagi, Yo.” Jawabnya.
“APA?” Rio melebarkan pupil matanya. “Kok.. lo nyerah sih, Yel?” tanya Rio tak percaya.
“Bukannya gue, nyerah, Yo. Tapi.. gue rasa, semuanya bakal sia-sia.” Gabriel menghela nafasnya sebentar. “Shilla bener-bener udah jatuh dalam cinta Cakka. Dan rasanya.. susah buat gue dapetin dia dari Cakka.” Jelas Gabriel.
Rio mendesah pelan, “Gue tau gimana perasaan lo, bro. Tapi, cinta itu memang butuh perjuangan kan? Gue yakin, kok, Shilla bakal jadi milik lo.” Ucap Rio sembari menepuk pundak sahabatnya itu.
Gabriel menunduk sebentar, lalu mendongak lagi. “Thanks, Yo.” Ucapnya.
Rio tersenyum, “Take care, bro.”

*

Rio menatap layar handphonenya dengan nanar.
Ada rasa senang sekaligus kecewa dalam benaknya.

Senang? Ya. Rio senang karena Shilla barusan mengirimkan SMS padanya. Shilla bilang, Shilla meminta Rio untuk menemaninya ‘membeli sesuatu’ lusa ini. begitu saja senang?
Tentu saja. Sudah lama Rio dan Shilla tidak jalan-jalan berdua. Ingat, Ber-du-a. biasanya, pasti Gabriel juga ikut. Ah, Rio saja sampai lupa kapan terakhir kali ia jalan berdua dengan Shilla.

Tapi, Rio juga kecewa dan bersedih. Mengapa?
Ya, karena.. Shilla ‘membeli sesuatu’ itu untuk Cakka.
Apa? UNTUK CAKKA?
Iya, Untuk Cakka. Kata Shilla, hari minggu ini, tepat hari ke 21 atau 3minggu ia berpacaran dengan Cakka.
What the hell? Err~
hh.. Rio saja, rasanya susah bernafas saat mengucapkan atau mendengar nama itu.
Wah, ternyata sudah cukup lama Shilla dengan lelaki itu. Tapi, kenapa Shilla ingin memberikan sesuatu, ya? Biasanya, kebanyakan orang, merayakan hari jadian itu saat sebulannya. Bukan tiga-minggu-nya. Aneh.

“Shilla ada-ada aja deh.” Ucap Rio sembari geleng-geleng kepala. Matanya tetap menatap pada layar I-Phonenya itu.
“Kasih tau Gabriel gak ya?” tanyanya entah pada siapa saja yang ada di kamarnya.

*

Gabriel menelan salivanya susah payah. Setelah mendengar penjelasan Rio lewat telfon.

“... menurut lo, gue terima gak, ajakan Shilla?”

Mata Gabriel masih tertuju pada poster Robin Van Persie pemain Manchester United yang ia tempel di dinding kamarnya. Iya, matanya memang tertuju pada pemain tampan sekaligus bertalenta itu. Tapi tetap saja pikirannya kosong! Entah melayang kemana.

“… Woooiii!!!” Rio berteriak di seberang sambungan telfon. Karena merasa taka da jawaban dari Gabriel.

“GABRIEEEEELLL!!!” panggil Rio lagi. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

“Yo. Kalau gue gak bisa dapetin Shilla, beliin gue tiket ke Manchester ya, Yo.”

GUBRAKKK!!!

**
TBC
**

duh makin aneh nih -_-
masa bodolah..
pokoknya DON’T BE SILENT READER! LEAVE A LIKE AND COMMENT! Okey? ;)

Thanks..
@murfinurh_

Lucky!! #cerpen 1/4

Hello.. aku punya cerpen baru hehehe._.
Setelah sekian lama (?) vacuum *cieileh* akhirnya saya ngepost juga wqwq
Ini sebenernya udah lama saya buat. Tapi, faktor waktu, jadi saya baru bisa post sekarang.
Okelah entah ini cerpen apa-_- soalnya cerpennya dibagi empat. *Emang ada?
Yaudah, kita sebut ini sebagaaaaaai cerbung pendek atau cerpen bersambung. Ah terserah deh whatever .-.

PART 1 of 4

.
.

Cinta pada Sahabat sendiri.
Itu bukanlah perasaan yang salah, bukan?
Jelas tidak. Semua orang berhak mencintai siapapun.
Sekalipun, itu adalah sahabatnya sendiri.

**

Gadis itu memegangi perutnya, menahan tawanya yang susah ia hentikan.
Sedangkan lelaki di sebelahnya ini masih saja melontarkan lelucon-lelucon lucu yang membuat gadis ini tertawa terpingkal-pingkal sambil menggebrak-gebrak mejanya.

“Ieeelll…. Udah dong. Gue capek.” Ucap Shilla –gadis tadi- di sela tawanya.
Namun sayang, Gabriel tidak memperdulikan itu dan semakin membuat banyak lelucon.
“Shill, coba kalo lo liat kumisnya pak Arya, beh itu kumis kayak bulu kucing Shill. Masa warnanya Orange. Hahaha”
“HAHAHA… Gabriel udah dong…”

Pagi-pagi begini, kelas sudah ramai. Dan pelakunya mereka berdua. Shilla dan Gabriel.
Dua sahabat yang sudah terkenal sampai ke penjuru sekolah itu. Maka, tak aneh jika mereka terkenal selalu meramaikan suasana. Mereka bersahabat sejak SD. cukup lama bukan?
Shilla dan Gabriel ini ibaratkan amplop dan prangko. Yang selalu nempel dan saling melengkapi.
Dimana ada Gabriel, disitu ada Shilla, dan sebaliknya.
Tapi, yang selama ini orang bingung kan, kenapa mereka tidak meneruskan hubungan ‘Persahabatan’ mereka menjadi lebih jauh? Yaa.. Pacaran gitu..
Padahalkan, mereka berdua cocok. Sangat cocok malah.

Shilla tiba-tiba menghentikan tawanya. Dan tentu saja membuat Gabriel menghentikan tawanya juga, dan mengerutkan kening, bingung.
Gadis itu menatap pintu kelas yang memang terbuka. Gabriel mengikuti arah pandang gadis itu.
Oh, cowok itu, batin Gabriel saat melihat seseorang berdiri di ambang pintu.
Sepertinya, Shilla sedang memperhatikan lelaki yang sedang berdiri dengan gaya angkunya dan sok’nya –menurut Gabriel- itu.

“Ck.. gantengnyaaa..”
Gabriel menoleh pada gadis yang duduk di sebelahnya itu. Tatapan itu. Tatapan yang membuat perut Gabriel terasa mual!
Shilla. Gadis yang sudah menjadi sahabatnya selama 7 tahun itu, sepertinya menyukai lelaki yang –saat ini masih- berdiri di ambang pintu itu.

Cakka. Lelaki tadi. Dengan gaya coolnya memasuki kelas. Setelah sebelumnya seperti mencari sesuatu di dalam kelasnya. Oh, mungkin mencari seseorang. Dan sekarang, Shilla sedang berharap Cakka mencari dirinya ada atau tidak di dalam kelas.

Ah. Cakka. Anak lelaki yang kemarin baru memasuki kelas ini, dengan beraninya mencuri hati Shilla.
Shilla berdecak kagum melihat lelaki itu yang mulai duduk di bangku paling pojok, di baris ke empat. Sedangkan Shilla –bersama Gabriel- duduk di baris ke tiga, di bangku ke dua dari pintu. #ini penjelasannya ribet banget!#

Cakka yang merasa dirinya sedang di perhatikan, menoleh dan mendapati seorang gadis cantik yang sedang tersenyum-senyum sendiri sambil –sepertinya- memperhatikan Cakka.
Cakka membalas senyuman gadis yang baru ia kenal namanya Shilla, dengan senyum yang manis andalannya. “Hai..” sapanya.
Shilla tiba-tiba melotot karena tertangkap basah oleh pangerannya itu. Dengan ragu-ragu, Shilla menjawab. “H-hai..”
Cakka tersenyum lagi. Membuat Shilla merasa melayang-layang di atas awan. Oh, indahnya dunia.
Lagi-lagi, Cakka tersenyum. kali ini sambil menunjuk sebuah buku tulis di hadapannya. Oh, lagi-lagi Shilla terpana melihat senyum itu. Gadis itu mengangguk, tanda meng-iya-kan. Cakka berbalik memalingkan wajahnya dari gadis manis itu. Dan kembali melanjutkan aktivitasnya tadi. Menyalin buku PR milik Alvin, teman sebangkunya.
Shilla memegangi dadanya yang terasa berdegub kencang. Mungkin jantungnya sedang bekerja total, sehingga menimbulkan detakan itu melebihi batas normal.  Matanya masih belum beralih dari lelaki itu. Lelaki yang kini.. sepertinya telah benar-benar mencuri hati Shilla.

“Ehem!”
Shilla memalingkan wajahnya dari Cakka –yang masih sibuk menulis-. Dan berbalik menatap sahabatnya yang tadi berdehem itu.
“Apa sih?” tanya Shilla sedikit sinis. Merasa terganggu karena momen indahnya di ganggu oleh Gabriel si nyebelin itu!
“Ngeliatin apa, sih? Serius banget kayaknya.” Ucap Gabriel. Terdengar menyindir, atau.. terdengar cemburu?
Shilla tersenyum kikuk. “Kayaknya, gue jatuh cinta deh, Yel.”

DEG!
Gabriel merasa ingin menjerit mendengar ucapan Shilla yang membuat hatinya tertohok itu.

“Sa.. sama si-siapa?” tanya Gabriel ragu-ragu.
Shilla tersenyum malu.
Shilla melirik kea rah kirinya. Lalu bergumam. “Cakka.”
“Oh..” Gabriel bodoh! Ia menyesal menanyakan itu.
Pagi yang cerah ini, berubah menjadi pagi yang suram bagi Gabriel. Oh, God!

*

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Rasanya, baru saja bel masuk kelas berbunyi. Sekarang, sudah bel istirahat?
Oh.. memang pengertian sekali guru piket sekolahnya hari ini. Mengerti keadaan murid kelas XI IPA 2 yang sedang pusing karena pagi-pagi sudah di jejali pelajaran Fisika lalu Matematika, dengan rumus-rumus yang memusingkan itu.

Shilla buru-buru memasukkan semua alat tulisnya ke dalam laci mejanya.
Gabriel yang melihat itu, menaikan sebelah alisnya dengan sempurna. “buru-buru amat. Mau kemana, neng?” tanya Gabriel.
Shilla tersenyum lebar menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
Mata Shilla beralih menatap bu Okky –wali kelas sekaligus guru Matematika- mulai berjalan keluar kelas.

“Gue.. ke kantin duluan, ya, Yel.” Ucap Shilla. Terdengar seperti meminta izin dan memohon.
“Lho? Gak bareng sama gue, nih, ke kantinnya?” tanya Gabriel heran. Karena biasanya, Shilla selalu bersamanya saat istirahat.
Shilla tersenyum canggung lalu menjawab dengan hati-hati, “Gue.. ada urusan sebentar. Sama Sivia.” Jawabnya.
Akhirnya, Gabriel hanya bisa mengangguk menyetujui.

*

Shilla mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Sambil menunggu seseorang yang berjanji akan makan siang bersamanya kali ini.

“Aduh, maaf ya, baru datang. Tadi gue ke toilet dulu.”
Shilla mendongakkan kepalanya, lalu tersenyum saat mendapati orang yang di tunggunya telah datang dan kini duduk di hadapannya.
“Gapapa, kok. Gue juga baru dating barusan.” Jawab Shilla diiringi senyum manisnya pada Cakka. Lelaki itu.
Saat pelajaran bu Okky tadi, Shilla mendapat gumpalan kertas yang mendarat tepat di mejanya. Yang membuat Gabriel mendelik sebal pada Shilla saat itu.

Nanti isitirahat bareng, ya :).
 Cakka.
Pesan yang singkat, padat, tapi mengandung unsur istimewa bagi Shilla.

“Oh, iya. Lo mau pesen apa?” tanya Cakka membuat lamunan Shilla terbuyar.
“Umm.. Bakso aja deh.”



“Shilla bohong!” ucapanya sambil menatap garang. “bisa-bisanya dia bohongin gue, dan ternyata, dia malah asik berduaan sama Cakka si cowok sok keren itu!” sambungnya. Terdengar geram.

Tepat di pintu masuk kantin, Gabriel tengah berdiri dan matanya menangkap sosok gadis yang tak asing lagi baginya, sedang duduk bersama seorang lelaki.
Gabriel menyipitkan matanya, hingga akhirnya mengetahui siapa lelaki itu. Ya. Lelaki yang mulai saat ini dianggapnya sebagai ‘Rival’ itu. Cakka. Iya, Cakka. C-A-K-K-A.

*

2 hari kemudian..        

Oke. Gabriel merasa hubungannya dengan Shilla mulai merenggang.
Ia merasa Shilla agak menjauh darinya. Dan penyebabnya adalah.. Cakka.
Cowok itu semakin lama, semakin membuat Gabriel muak padanya.
Cakka telah merebut perhatian Shilla terhadapnya. Gabriel benci saat Shilla lebih memilih istirahat bersama Cakka, bercanda bersama Cakka, dan melupakan Gabriel yang sudah menemaninya sejak kelas empat SD itu.

Gabriel menghentikan mobilnya. Tepat saat lampu lalu-lintas menunjukkan warna merah.

“Hhh...” Gabriel menghela nafas panjang. lalu melirik gadis yang duduk di bangku penumpang di sebelahnya.
Gadis itu masih sama. Masih cantik. Manis. Lucu. Dan masih sibuk dengan ponselnya sejak dua hari yang lalu. Semenjak Shilla bersama Cakka di kantin itu.
Gabriel tahu pasti apa yang sedang Shilla lakukan. sms-an atau bbm-an dengan Cakka.
Biasa. Gabriel selalu merasa sedang bersama patung saat-saat seperti ini.
Tetapi, satu hal yang Gabriel syukuri saat ini. Ia masih bisa berangkat dan pulang sekolah bersama Shilla. Dan tentunya, masih duduk sebangku bersama gadis itu. Gabriel tersenyum saat mengingat hal itu.

Gabriel kembali menancap gas saat melihat lampu yang kini berubah warna menjadi warna hijau.

“Shill..” sadar tak sadar, ternyata Gabriel sudah memanggil nama Shilla.
Shilla bergeming dan masih sibuk dengan ponselnya.
“Shilla..” panggil Gabriel lagi, yang kini terdengar lebih keras.
“Eh, iya?” jawab Shilla sambil memalingkan wajahnya dari handphonenya itu. “ada apa, Yel?” tanyanya.
Gabriel menghela nafasnya sebelum mengatakan sesuatu pada Shilla.
“Lo kenapa sih?” tanya Gabriel.
Shilla mengerutkan kening. Tak mengerti maksud pertanyaan lelaki di hadapannya itu.
“kenapa sekarang.. Lo menjauh dari gue?” tanya Gabriel sambil menatap focus ke depan.
Shilla terlihat salting. Tapi ia berusaha menutupi kesaltingan itu. “mm.. emang iya, ya?” tanya Shilla balik.
Gabriel mendengus. Capek juga dengan anak satu ini.

“Yel..” panggil Shilla saat sebelumnya terjadi keheningan sejenak.
“hmm..” jawab Gabriel dengan dehemannya.
“cowok kok susah peka, ya?” tanya Shilla. Menatap Gabriel meminta penjelasan.
“enggak juga tuh..” jawab Gabriel. “cewe juga susah peka, kan?” lanjut Gabriel.
“enggaaa!! Cewe lebih peka daripada cowok!” bela Shilla.
“tapi.. buktinya, lo juga gak bisa peka kan sama perasaan gue?” Aduuh! Gabriel mengatup bibirnya yang kelewat ceplos itu.
“apa, Yel?” tanya Shilla seolah meminta penjelasan.
“Gak.” Jawab Gabriel setengah gugup. Belom waktunya, Yel!, batinnya. “yang jelas, cewe juga gak peka!”
Shilla menggembungkan pipinya dengan lucu. “ih.. cowok tau! Buktinya, sampai sekarang, Cakka belum bisa ngerti apa arti tatapan gue, ucapan gue, gerak-gerik gue yang salting di depannya, pipi gue yang selalu merona saat dia senyum dan natap gue, oke, yang terakhir itu memang memalukan. Tapi, setidaknya, seharusnya Cakka bisa.. hehe..” Shilla bercerita dengan panjang lebar, tapi menggantung bagian terakhir dan hanya nyengir.
Gabriel menaikan sebelah alisnya, “Bisa apa?” tanyanya.
“nembak gue..” jawab Shilla polos seraya tersenyum malu.
Dan itu malah membuat amarah Gabriel memuncak. Ia meremas setirnya dengan penuh amarah.
Mendingan, Gabriel duluan menembak Cakka deh, sebelum Cakka menembak Shilla.
Tinggal pilih saja, mau tembakan pistol besar, atau panah yang runcing untuk di tembakkan ke tubuh si Cakka itu?
Gabriel pun bersedia untuk menembak Cakka dengan kedua alat itu sekaligus. Pikiran yang sarkatis memang.

*

Gabriel menjalani hari ini di sekolah dengan penuh kesabaran, dan gondok pastinya.
Pertama, saat datang ke kelas, Cakka sudah berada di dekat parkiran, dan mengajak Shilla ke kelas bersama.
Kedua, saat pelajaran Bahasa Inggris, gurunya menyuruh membuat sebuah dialog yang dikerjakan secara kelompok, yaitu tiga orang. Dan Shilla memilih Cakka untuk bergabung bersama Gabriel dan Shilla.
Ketiga, Cakka dan Shilla ke kantin bersama, dan lagi-lagi melupakan Gabriel.
Keempat,  saat jam kosong karena guru PKn nya tidak bisa hadir, Shilla dan Cakka pergi entah kemana. Berdua. Sekali lagi, Berdua.
Kelima, oke, Gabriel benci mengingat ini. Shilla. Bilang. Padanya. ‘Yel, mulai hari ini, Cakka yang bakal antar jemput aku ke sekolah.’
12 kata, yang berhasil membuat Gabriel merasa jantungnya hancur seketika.
Dan itu berarti, yang menjadi keberuntungan Gabriel adalah. Masih bisa duduk bersama. Mungkin bisa saja hanya sementara.

“Arrggh!!!” Gabriel mengerang frustasi. Sampai baru sadar kalau dia sudah berada di depan rumahnya.

*

Shilla menatap lelaki yang kini duduk di sebelahnya itu. Menunggu, apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu.
Cakka sendiri, terlihat masih asik menikmati pemandangan kota di hadapannya.
Sepulang sekolah tadi, Cakka tidak langsung mengantar Shilla ke rumah gadis itu. Ia malah membawa gadis itu ke sebuah gedung yang bisa di bilang ‘gedung gagal’ karena bangunannya belum jadi dan sepertinya akan di stop untuk di teruskan pembangunannya itu. Cakka mengajak Shilla ke balkon atap gedung itu.

“Gue.. mau ngomong sesuatu, Shill.” Ucapnya.
Tentu saja membuat Shilla menelan ludahnya susah payah. Dia.. entah mengapa Shilla tiba-tiba merasa sesuatu yang aneh.
“a-apa?” tanya Shilla.
Cakka kini memalingkan wajahnya untuk melihat gadis itu. Mencoba untuk menatap gadis itu, tepat di bola matanya.
Shilla jadi gugup sendiri di tatap seperti itu.

“Gue.. cinta sama lo, Shill. Lo mau gak jadi pacar gue?”
DEG!!
Benar kan! Itu yang akan di katakan oleh Cakka.
Tanpa pikir panjang, gadis itu mengangguk. “i-iya. Gue mau.” Jawabnya.

Oh.. indah sekali hari ini.
Di hari yang menjelang petang ini, ia jadian sama Cakka. Di atas gedung ini. Di hadapan sunset ini.
Oh, iya! Ada sunset! Aaaahh.. romantic sekali pemandangannya. Makin memperindah suasana saat ini.

Cakka tersenyum lebar. Sejurus kemudian, lelaki itu memeluk Shilla dengan erat. “makasih, Shill.” Ucapnya.
Shilla hanya tersenyum, dan.. ragu-ragu untuk membalas pelukan kekasih barunya itu. Maklum. Masih baru. Malu. Hihi.
Dibalik punggungnya, Cakksa tengah mengangkat ujung bibir kanannya. Tersenyum… licik?

*

Gabriel. Seperti orang kesetanan saat ini.
Bercerita penuh emosi, sambil memakan cemilan yang pedas milik sahabatnya.
Rio. Sahabat Gabriel sejak orok hingga saat ini, menatap Gabriel dengan ngeri.
Sepulang sekolah tadi, Gabriel langsung ke rumah Rio. Berniat untuk curhat pada sahabatnya itu. Mencomot keripik pedas –milik Rio- dengan sadis, lalu mengunyahnya dengan sadis pula!

“... Yo, gue ini sahabat Shilla sejak kelas empat SD. Dan, Bocah sok yang baru dia kenal beberapa hari ini, berani-beraninya bikin Shilla menjauh dari gue!” cerita Gabriel dengan meluap-luap.
Mungkin juga karena rasa pedas yang menjalari lidahnya.

“gue juga sahabatan sama Shilla sejak kelas empat, Yel. Dan gue juga tau gimana sikap Shilla. Dan menurut gue sih.. dia gak mungkin jauhin elo. Apalagi kalo jauhin gue. Gak mungkin bisa, dia.”
PLETAK!
Dengan satu jurus, Gabriel berhasil menjitak kepala sahabatnya itu.
Ya. Gabriel, Shilla, dan Rio adalah tiga serangkai yang bersahabatan. Saat kelas empat, Shilla menjadi murid baru di Sekolah Dasar tempat Gabriel dan Rio bersekolah. Saat itu, Shilla memilih berteman bersama mereka. Dan saat itu pula, Gabriel menyimpan rasa yang lebih pada Shilla. Rasa.. sayang mungkin.
Sayangnya, saat mereka menginjak jenjang SMA, Rio harus berpisah sekolah dengan Shilla dan Gabriel, karena ayahnya memilihkan sekolah yang berbeda.

“jadi, gue harus gimana dong, Yo?” tanya Gabriel meminta saran.
“Ya.. elo harus bergerak cepat. Sebelum semuanya terlambat, dan keburu di embat orang lain...” Jawab Rio.
Gabriel hanya terdiam sambil menunggu Rio melanjutkan ucapannya.
“Gue rasa, udah terlalu lama elo pendam semuanya, Yel. Kasih tau Shilla, kasih tau kalo lo itu cinta sama dia.” Lanjut Rio.
Gabriel menelan keripik pedas itu susah payah. Benar juga kata Rio, pikirnya.

Rio tengah berpikir sesuatu, “eh, dari tadi lo cerita panjang lebar sama gue tentang cowok itu. Emangnya.. siapa sih nama tuh cowok?” tanya Rio akhirnya.
Gabriel melengos. Sebenarnya tak ingin menyebut nama lelaki itu. “Cakka.” Jawabnya. Singkat.
Mata Rio tiba-tiba melebar setelah mendengar jawaban Rio. “C-Cak.. Cakka?” tanya Rio terbata. “Cakka Nuraga?” tanya Rio memastikan.
Gabriel mengangguk-ngangguk. “iya. Kok lo tau, sih?” tanya Gabriel heran.
“Yel, Cakka itu—“
Drrt.. Drrt..
Ucapan Rio terhenti saat mendengar handphone Gabriel bergetar. Gabriel mengambil benda itu dari saku celana oblongnya.

“Uhuk!!” Gabriel sepertinya langsung tersedak keripik pedas sialan itu, saat mendapati pesan singkat yang baru saja masuk di inboxnya.
Bukannya langsung mengambil minum di hadapannya –yang disiapkan pembantu di rumah Rio tadi-, dan meneguk air, Gabriel alih-alih malah melototi layar handphonenya itu.

“Ap-paa.. ap-a.. apa-apa-an i-ni?” Gabriel berucap dengan susah payah dan terbata-bata. Ada dua kemungkinan.
Satu, karena keripik yang masih menyumbat kerongkongannya. Dua, ya.. isi pesan singkat itu membuat Gabriel terkejut, mungkin.

“kenapa, Yel?” tanya Rio, agak khawatir juga.
Gabriel masih memandangi layar handphonenya dengan tatapan tak percaya. Lalu, menunjukkannya pada Rio.
Rio membaca pesan itu, melongo, seperti Gabriel.

From : Shillaaaaa
19.10

Yel, Cakka nembak gueee!! Huaa gue seneng banget! Kita udah jadian, Hihi :D

*
TBC
*

@murfinurh_

“Promises...” #Cerpen

ini cerpen lama yang baru sempet di post di blog :D
Oke, maaf kalo ini gaje, gak nge-feel, bahasa ribet dan ngawur, alur aneh-_-V


Happy Reading and I hope you like this, guys!

*

Gadis ini sedari tadi celingak-celinguk memperhatikan jalanan kota. Bingung. Kekasihnya terus melajukan motornya, tetapi tidak memberitahu akan pergi kemana.
“kita mau kemana sih, Yel?” tanya Shilla, gadis itu.
Gabriel –kekasih Shilla- masih focus pada jalanan di depannya. “Cuma ke taman aja kok.”
“Nyeh..” Shilla melengos. “aku kira ke tempat yang romantis gitu.” Lanjutnya.
Gabriel tertawa kecil di balik helmnya.


Shilla dan Gabriel telah sampai di sebuah taman kota. Bukan taman komplek Shilla yang biasa Shilla kunjungi.
“duduk sini..” ujar Gabriel seraya menarik Shilla, untuk duduk di bawah sebuah pohon yang rindang.

Shilla masih terdiam dan menatap sekelilingnya. Ramai sekali!

“Yel, kamu sering kesini?” tanya Shilla.
Gabriel menoleh, lalu tersenyum. “emm.. kadang-kadang.” Jawab Gabriel seadanya.
Shilla memperhatikan anak-anak lelaki ataupun perempuan yang kini tengah asik bermain layang-layang, ada juga yang sedang bermain bola, petak umpet, kelereng, lompat tali serta permainan anak-anak lainnya.

“ternyata, masih ada juga ya yang main permainan tradisional.” Ucap Shilla.
Gabriel terkikik. “emang, menurut kamu, gak ada gitu?” tanyanya.
“bukan gitu.. aku pikir, sekarang kan banyak permainan yang lebih canggih tuh. Kayak main di I-Pad, main playstation, game online, pokoknya terpengaruh dari globalisasi deh…” jelas Shilla.
“itu sih gimana anaknya aja, Shill. Kalo anak itu gak di kasih atau di biasain main permainan kayak begitu, mereka gak mungkin mau.” Tanggap Gabriel.
“siapa bilang?” tembak Shilla. “justru kebanyakan dari mereka itu pengen mencoba sesuatu yang baru. Walaupun orang tuanya melarangnya, mereka pasti akan main sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Dan biasanya, kalo sudah mencoba, mereka pasti akan kecanduan main game di alat canggih. Dan melupakan game tradisional.” Bela Shilla panjang lebar.
“anak-anak itu punya sifat yang berbeda. Kalo yang seperti kamu jelasin tadi sih…. Itu sifat kamu sendiri. Hahaha…” balas Gabriel dan langsung diiringi tawanya.
Mata Shilla membulat menatap Gabriel. Shilla menggembungkan pipinya sehingga terlihat menggemaskan.

“Oyyy!!! Layang-layangnya putus!”
Shilla maupun Gabriel menoleh pada suara teriakan seorang anak. Ternyata anak laki-laki itu ada di gerombolan (?) layang-layang.
“ayo kejaaaarrrrr!!!” komando salah satu anak pada teman-temannya.
Yang lainnya langsung berlari bersama ank laki-laki komandan tadi. Namun, ada sebagian yang masih tetap stay memainkan layang-layang di situ.

Shilla menoleh pada Gabriel. “Gabriel, ayo kita ikut mereka!” seru Shilla.
“tapi, Shill---“
“ayo Iel… aku pengen ikut lari sama mereka..” pinta Shilla sembari mengguncang-guncangkan lengan Gabriel.

“ayo cepaaatt!! Layang-layangnya terbang kesana..” seru seorang anak saat mereka melewati tempat Shilla dan Gabriel duduk sekarang.
Tanpa permisi, Shilla langsung saja ikut dengan gerombolan anak –yang mengejar layang-layang- itu.

“Shilla..” teriak Gabriel dan langsung berlari mengejar gadisnya –yang bandel- itu.

“Gabriel, ayo cepat! Kita juga kejar layang-layangnyaa!!” seru Shilla.
Gabriel tertawa. “ayo, harus kita yang lebih dulu dapat.” Balas Gabriel.
Shilla ikut tertawa. Dan masih berlari mengejar layang-layang itu bersama anak-anak lucu ini.

“Hey, tangkap layang-layangnya!” seru seorang anak.
Shilla dan Gabriel menghentikan langkah mereka. Dan mendongak ke atas.
Layang-layang yang dikejar mereka tadi itu ternyata sudah ada di atas kepala.
Hanya perlu menarik benangnya.
Anak-anak itu lompat-lompat untuk mendapatkan benang layang-layangnya. Shilla malah tertawa melihat mereka yang tidak bisa menjangkau benang layang-layang tersebut.
Dan.. hap! Dapat!

“yeee kakak dapaaaatt!!!” seru Shilla saat berhasil mendapat benang layang-layang tersebut.
Anak-anak itu menoleh padanya. “Yaaaahhh...” seru mereka kecewa.
Gabriel tertawa geli melihat anak-anak yang langsung lesu itu. “hey, tenang aja. Kak Shilla gak mungkin kok mainin layang-layang ini. Mana bisa dia.. iya kan kak?” ucap Gabriel mencoba menghibur anak-anak itu.
Shilla mengangguk setuju. “siapa yang mau layang-layang ini? Nanti kakak kasih, tapi ada syaratnya.” Ujar Shilla.
Anak-anak itu terlihat ceria kembali. “iya kak iya, apa syaratnya?” tanya seorang anak yang kira-kira berumur 9 tahun itu.
 “pokoknya siapapun yang nanti dapet ini, jangan ada yang marah ya..” ucap Shilla akhirnya.
Anak-anak itu mengangguk.
“emm.. kamu..” Shilla menunjuk seorang anak. “ini, untuk kamu saja.” Ujar Shilla.
Ternyata itu adalah anak yang memberitahu bahwa ada layang-layang jatuh tadi.
Anak itu meraih layang-layang dari tangan Shilla. “Makasih, kak..” ucapnya dengan gembira.
Shilla mengangguk. “lain kali, mending jangan ngejar layang-layang putus deh.. kan bahaya kalo misalnya putus kea rah jalan raya. Oke?” Ujar Shilla.
“oke kak..” koor anak-anak itu.
“tapi kak, kan lumayan kalo ngejar layang-layang putus begini. Bisa dapat layang-layang gratissss…” celetuk seorang anak. Shilla langsung tertawa bersama anak-anak lainnya.
Gabriel hanya tersenyum melihat Shilla yang bisa tertawa lepas bersama anak-anak itu.

*

Gabriel berlari sambil menarik tangan Shilla. Lalu berhenti di sebuah tempat.
“WAW..” Shilla berdecak kagum saat melihat tempat yang di tunjukkan oleh Gabriel.
“Bagaimana?” tanya Gabriel pada Shilla yang masih terpaku melihat tempat ini.
“baru kali ini aku lihat padang ilalang sungguhan..” ucap Shilla.
Gabriel terkikik. “emang, menurut kamu padang ilalang itu bohongon?”
Shilla Cuma nyengir. Sejurus kemudian Shilla berlari dengan riang di antara ilalang-ilalang yang menjulang setinggi pinggang orang dewasa itu.
Gabriel hanya berjalan sambil tersenyum melihat gadisnya itu.

“Gabriel..” teriak Shilla, menghentikan langkahnya.
“Ya?” sahut Gabriel.
“kamu tau, aku merasa ada di surga sekarang.” Ucap Shilla. Shilla menggenggam jarijemarinya, dan meletakkannya di depan dada.
“tapi sayangnya, kamu masih ada di Bumi, Shill..” respon Iel sambil berjalan menghampiri gadisnya itu.

BRUUKKK!!

“Shilla..”
“Hehe…”
Gabriel geleng-geleng kepala saat melihat Shilla yang langsung menjatuhkan tubuhnya begitu saja di bawah ilalang itu. Tetapi, sejurus kemudian, Gabriel ikut menjatuhkan diri di sebelah Shilla.

Shilla dan Gabriel menatap langit biru yang kini bisa lebih menang dari awan yang biasanya menutupinya dengan banyak. Menikmati setiap hembusan angina yang menerpa wajah mereka. Membuat anak-anak rambut mereka kian bergoyang.
“hh…” Shilla menghela nafasnya. “aku suka suasana seperti ini.” Ucapnya.
Gabriel menoleh. Lalu bersiap mendengarkan lanjutan ucapan Shilla.
Shilla menarik nafasnya dalam, lalu menghembuskannya kembali, Sambil menutup kedua matanya.
“tenang, damai, sejuk, indah.. nyaris seperti surga.” Lanjutnya.
Gabriel menaikan sebelah alisnya. Menurutnya, ucapan Shilla yang di bagian akhir itu terasa aneh dan ganjal. Tapi perasaan itu langsung di tepis oleh Gabriel.
“aku juga..” jawab Gabriel. Lalu mereka tersenyum kecil.

“Yel, aku bikin cerita baru lhoo..” ucap Shilla sembari memamerkan deretan giginya.
“Oh, ya? Cerita apa?” tanya Gabriel yang mulai penasaran dengan pembicaraan ini.

Sedikit informasi, Sebenarnya Shilla sangat senang menulis. Tetapi, ia lebih suka membuat cerita fiksi semacam dongeng dari pada cerpen-cerpen tentang ‘percintaan’. Menurutnya, fiksi semacam dongeng itu bisa membuat ia menyalurkan apa yang ada dalam pikirannya. Maksudnya, idenya. Karena Shilla termasuk orang yang mempunyai imajinasi tinggi, jadi dia suka mengkhayal hal yang benar-benar tidak ada dan tidak mungkin terjadi.

“Judulnya.. ‘Lala dan Negeri Awan’. Cerita itu tentang seorang gadis kecil, yang pengeeen banget terbang ke awan.” Jelas Shilla. “kamu tau gak, itu sebenernya impian aku juga tau..” lanjut Shilla serius.
Gabriel menaikkan sebelah alisnya. “maksud kamu.. kamu pengen kea wan?” tanya Gabriel.
Shilla mengangguk dengan semangat. “aku pernah bermimpi.. ada seorang pangeran, yang ngajak aku kea wan.” Pandangan Shilla kembali pada langit biru dan awan-awan di sekitarnya.
Gabriel memperhatikan gadisnya itu dengan seksama. Menikmati ukiran indah Tuhan pada wajah gadisnya ini. Sambil mendengarkan gadisnya itu bercerita tentunya.
“Dia bawa aku terbang.. melewati langit ke tujuh.. dan akhirnya, aku sampai di sebuah tempat yang sangaaatt indah. Namanya negeri awan. Disana, aku…..” Shilla menceritakan dengan detail apa saja yang pernah ada dalam mimpinya itu. Gabriel sesekali tertawa mendengar cerita Shilla.

“…. Dan kamu tau ternyata pangeran itu siapa?” tanya Shilla di akhir ceritanya.
Gabriel menggeleng. “Enggak. Siapa emang?” jawab dan tanyanya.
Shilla terlihat menundukkan wajahnya. Semburat merah tiba-tiba muncul di kedua pipi chubbynya.
“Kamu, Yel. Kamu pangerannya.”
Cess.. hati Gabriel terasa mencelos. Hilang begitu saja.
Gabriel tersenyum. lalu meraih kedua tangan mungil Shilla.

“kalo gitu, aku janji deh bakal bawa kamu ke negeri awan..” ucap Gabriel. Terdengar serius memang.
Shilla mendongak menatap Gabriel.  Lalu tertawa kecil. “jangan gila. Negeri awan itu Cuma fiksi. Cuma ada di dongeng-dongeng.” Balas Shilla.
Gabriel menggeser tubuhnya, semakin mendekat dengan Shilla. “tapi aku janji, Shill.” Ucap Gabriel yakin.
Shilla tersenyum lebar. “janji?” Shilla menaikkan jari kelilingking tangan kanannya.
Gabriel tertawa kecil. “Janji!” jawab Gabriel mantap sambil menautkan  jari kelilingkinya dengan kelingking Shilla.
“Hahaha..” mereka tertawa lepas.

Gabriel mendekatkan bibirnya di sebelah telinga kanan Shilla. Membuat Shilla sedikit geli karena ulahnya. Gabriel membisikkan sesuatu.
Kuyakin kubisa bawamu terbang ke angkasa.. Menembus pelangi lewati langit tujuh bidadari..Kuyakin kubisa temani jasadmu sepanjang umurku

Shilla terpaku mendengar lagu yang dinyanyikan Gabriel. Matanya membulat sempurna. Ahh.. Gabriel! Bisa saja kau membuat gadis ini merasa terbang melayang..
“kamu tau, apapun akan aku lakukan untuk kamu, dan untuk cinta kita berdua.. meskipun maut memisahkan.” ucap Gabriel.
Shilla menatap Gabriel serius. “janji?”
“Janji..” jawab Gabriel lalu mereka tertawa lagi.
Shilla perlahan menggeser tubuhnya, lalu meletakkan kepalanya pada dada bidang milik Gabriel.
Gabriel tersenyum geli melihat tingkah Shilla. Tetapi, perlahan Gabriel merentangkan tangan kirinya. Dan merangkul tubuh Shilla ke dalam pelukannya.
Gabriel dan Shilla menutup kedua bola mata mereka. Menikmati hembusan angin yang semakin menyejukkan. Menikmati hari yang mulai sore ini dengan tenang dan damai. Indah…

Tak lama kemudian, Shilla membuka matanya. Lalu menatap kekasihnya, yang sepertinya mulai terlelap. Shilla tersenyum menatap lelaki dihadapannya, yang Tuhan ciptakan begitu sempurna ini.

Tuhan.. ku mohon.. beri aku sedikiiit saja waktu. Aku tak ingin meninggalkan orang-orang yang ku sayangi. Beri aku waktu. Agar aku bisa membahagiakan mereka. Membuat sebuah senyuman serta tawa di bibir mereka.
Tuhan.. aku ingiiinn sekali terus bersamanya. Bersama lelaki ini. Lelaki yang sangaaat kucintai. Lelaki yang telah berani mencuri hatiku. Membuatku merasa terkunci, dengan gembok cintanya.
Beri aku waktu tuhan.. jangan kau biarkan dulu Malaikat Izrail mencabut nyawaku. Izinkan aku, Tuhan.. izinkan aku menikmati sisa hidupku yang memang tinggal sebentar ini, untuk ku habiskan bersamanya. Bersama Gabriel..

*

keesokan harinya...


Ting nong..
Gabriel berdecak kesal saat belum juga mendapat sahutan dari rumah gadisnya ini.

Ting..
KREK..
Baru saja Gabriel akan menekan bel lagi, sebelum akhirnya Ibunda Shilla membukakan pintu untuknya.

“Eh, nak Gabriel sudah datang rupanya.” Sapa Mama Shilla.
Gabriel tersenyum lalu mengangguk. “selamat pagi, tante. Shilla belum berangkat sekolah kan?” sapa dan tanya Gabriel.
“Belum lah.. kamu kan juga baru mau jemput dia.” Jawab Mama Shilla diiringi senyum manisnya. Persis seperti Shilla.
“Ayo, silahkan masuk saja. Tadi tante lagi di halaman belakang, makanya gak denger kalo ada kamu..” jelas Mama Shilla sembari berjalan masuk ke dalam.
Gabriel mengekorinya di belakang. “Shillanya mana tante?” tanya Gabriel yang sepertinya mulai gak sabar. Wajar aja, soalnya sudah pukul 06.30. bisa telat kalo gini!
“coba ke kamarnya aja. Tante juga bingung. Tumben sekali dia lama seperti ini.” Ujar Mama Shilla.
Gabriel mengangguk. Sejurus kemudian, dia berlari menaiki tangga menuju kamar kekasihnya.

*

Tok—Tok..
“Shilla.. udah siap belum?” teriak Gabriel. “sayaang..”
Merasa dari tadi belum ada sahutan dari Shilla, Gabriel jadi merasa khawatir terjadi sesuatu pada gadisnya itu.
“Shilla..”
Gabriel berdecak sambil memegang dadanya. Hatinya tiba-tiba merasa sakit. Aneh.
Akhirnya, Gabriel memutuskan untuk mendobrak pintu kamar gadisnya itu.

BRAKK!!
Gabriel berhasil mendobraknya.

“SHILLAAAA!!!” teriak Gabriel saat mendapati gadisnya itu terkulai lemah di bawah meja komputernya.
Dengan.. darah di sekitarnya!
Gabriel buru-buru menghampiri gadisnya itu.
“Shilla..” Gabriel meletakkan kepala gadisnya itu di pangkuannya. Ada darah yang mengalir dari hidungnya. Bahkan, darah itu sampai mengenai lantai dan kaki kursi meja computer.
“Shilla, kamu bertahan sayang.. kamu harus bertahan yaa..” Gabriel membopong tubuh gadisnya itu. Tak perduli dengan darah yang kini mengotori baju seragamnya. Yang terpenting adalah keselamatan Shilla! Ya. Keselamatan gadisnya itu!

*

Tap.. tap.. tap..
Gabriel tak henti-hentinya berjalan bolak-balik (?) di depan pintu UGD. Dimana Shilla sedang ditangani oleh dokter di ruangan itu.
Di tempat duduk ruang tunggu, Orang tua Shilla juga sama cemasnya dengan Gabriel. Papa Shilla sedari tadi mencoba menenangkan istrinya yang entah sudah menghabiskan berapa banyak air mata untuk menangis.

Gabriel mengacak rambutnya frustasi.  Arrrgghh!!

“Gabriel..”
Gabriel menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata Sivia dan Alvin –sahabat Shilla dan Gabriel-.
“gimana keadaan Shilla?” tanya Sivia.
Gabriel menggeleng lemah tanda tak tahu. Sedetik kemudian, Sivia menghampiri Orang tua Shilla.
Alvin menepuk pundak sahabatnya itu. “sabar, Yel..” ucapnya. Gabriel hanya mengangguk menanggapinya.

“nak Gabriel, sebaiknya kamu pulang dulu saja, nak.” Ujar Papa Shilla.
Gabriel menggeleng. “gausah, om. Gabriel mau nunggu Shilla aja.” Tolak Gabriel halus.
“tapi nak, baju kamu kan jadi penuh darah seperti itu. Kamu pulang saja dulu. Nanti akan om kabarkan kondisi Shilla.” Ucap Papa Shilla lagi.
“udah, Yel. Pulang dulu aja.” Ujar Alvin.
Dengan berat hati, akhirnya Gabriel mengangguk dan pamit untuk pulang dulu.
Sebenarnya ia tidak ingin beranjak dari sana. Lagipula, ia ingin mendengar kabar Shilla. Aneh sekali sudah hampir satu jam Dokter belum keluar dari ruangan Shilla. Ada apa ya?

*
Gabriel merasa hatinya tak tenang. Ia menyetir dengan grasa-grusu.
Ia harus cepat sampai ke rumah sakit lagi!

“Ya Tuhan.. selamatkanlah Shilla..” ucapnya berdoa.
Gabriel menancap gasnya dengan kencang. Membuat mobil melaju dengan saaangat kencang. Tak perduli dengan kendaraan lain disekitarnya. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah Shilla, Shilla, dan Shilla.

Tiba-tiba dari arah berlawanan ada sebuah truk besar yang juga melaju dengan kencang.
Gabriel merasa kehilangan kendali. Dan..
“AAAAAA….”
Semuanya gelap.. sangat gelap..

*

Sivia berkali-kali mencoba menghubungi Gabriel. Tapi sial! Handphone Gabriel mati!
“Gimana, Vi?” tanya Alvin yang ikut cemas.
“gak aktif, Vin..” ucap Sivia lirih.
Dokter bilang, Shilla sedang sekarat sekarang. Kanker paru-parunya sepertinya sudah menyerangnya total!
Ya, sebenarnya, sudah lama Shilla di vonis mengidap penyakit kanker paru-paru. Dan itulah yang selama ini membuatnya tidak boleh kecapean.
“Shilla.. bertahan, sayang..” doa sang mama sambil masih terus terisak.

Sedetik kemudian, pandangan mereka beralih pada sebuah suara decitan antara roda tempat tidur dengan lantai. Ternyata para suster sedang membawa seorang korban kecelakaan menuju ruang UGD di sebelah ruang Shilla saat ini.
Alvin menyipitkan matanya lebih sipit dari sebelumnya. “GABRIEL!!” pekiknya saat mengetahui korban itu sahabatnya! Gabriel!
Alvin langsung berlari menghampiri Gabriel.

Sekarang, Sivia, Alvin, maupun Papa dan Mama Shilla benar-benar merasa kacau!
Shilla saja sedang dalam kondisi yang membahayakan, sekarang di tambah Gabriel.
Ya Tuhan.. kuatkanlah mereka…

Tak lama kemudian,
KREK…! Pintu UGD dibuka bersamaan!

Seorang Dokter masing-masing keluar dari ruangan itu.
“keluarga korban?” tanya Dokter pada Alvin dan Sivia. Sivia dan Alvin langsung mengangguk.
“saya kakaknya.” Jawab Alvin mantap.
Dokter itu terlihat menggeleng lemah. Alvin dan Sivia sama-sama tercekat melihat gelengen dari dokter itu.
Dokter itu menepuk pundak Alvin. “Maaf.. saya sudah berusaha untuk kakak anda. Tetapi, Tuhan berkehendak lain..”
DEG! Alvin dan Sivia merasa sekujur tubuhnya mati sesaat.
“Maksud Dokter, Gabriel… meninggal?” tanya Sivia lirih. Dokter itu mengangguk pelan.
“innalillahi..” Sivia langsung menangis sejadi-jadinya. Alvin langsung merangkul Sivia kedalam pelukkannya.

Disisi lain, Dokter yang keluar dari ruangan Shilla juga terlihat menggeleng lemah. “maaf bu, saya serta para suster sudah berusaha.. tapi, Tuhan berkehendak lain pada putri anda.”

BRAAAAKKK!!!
Hati mereka serasa disambar petir!
Mengapa seperti ini? Mengapa kedua orang yang saaaaangat mereka sayangi meninggalkan mereka begitu cepat dan bersamaan?

“SHILLAAAA… GABRIEEELLLL…”
Kini lorong (?) itu diliputi penuh rasa duka yang mendalam.. sungguh..

Tak jauh dari sana, Gabriel dan Shilla, kini sedang menatap iba pada keluarga dan sahabatnya itu. Dengan baju yang serba putih.
Mereka berdua tersenyum pada orang-orang itu. Orang-orang yang sangat mereka sayangi.

“Maafkan Shilla, Ma, Pa, Vi, Vin..” ucap Shilla lirih.
“Maafin Gabriel juga..” Gabriel menambahkan.
Sejurus kemudian, Shilla mendongak menatap Gabriel.
“ayo, Yel. Kita harus pergi.” Ajak Shilla. Gabriel mengangguk, lalu mereka memutar tubuhnya, meninggalkan ruangan itu.
“kamu janji kan akan bawa aku kea wan.” Ucap Shilla.
Gabriel tersenyum lalu meraih tangan Shilla. Dan berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit.
“aku kan sudah bilang, aku pasti bisa menepati semua janji aku.” Ucap Gabriel bangga.
“iya iyaa”. Jawab Shilla.
“aku sangat mencintaimu, Shill..” ucap Gabriel.
Shilla tersenyum. “Aku juga mencintaimu, Gabriel.” Jawabnya.

Mereka benar-benar menepati janjinya.
Pergi ke awan, menembus tujuh langit, dan bertemu dengan para bidadari.
Jadi, apa Cinta sejati itu benar-benar ada?
Menurutku, Iya. Seperti dalam cerita ini.
Buktinya, Cinta Gabriel dan Shilla dalam kisah ini..
Walaupun berujung maut, tapi mereka tak terpisahkan, dan tetap bersama.
Bersama, selamanya…


~THE END~

Thanks buat yang udah mau bacaaaaa :*

@murfinurh_
 
PiscesLeo? Blogger Template by Ipietoon Blogger Template