Blogger Widgets

Senin, 16 Juni 2014

"Love is Ours" #ShortStory #Shiel


Hallo apa kabar kaliaaan? Masih inget aku? Itulho, kembarannya Shilla dan Ify, adiknya Taylor Swift, pacarnya Riostevadit, tunangannya Mario Maurer, dan Istrinya Gabrielstev :*

Aku bawa cerita baru. Tapi serius, INI JELEK BANGET! GAK NGEFEEL. AKU CUMA NEKAT AJA BUAT POST INI. Maklumi ya, aku kan vacuum terlalu lama, jadi begitulha.
ini terinspirasi dari lagunya my sister, Taylor Swift yang judulnya "Ours". hoho

Selamat membaca!

*

Tap... Tap... Tap...
Seorang gadis melangkahkan kakinya dengan tenang pagi ini. Seperti biasa, hari ini Ia harus bersekolah. Dengan mantap, ia terus melangkah meninggalkan parkiran untuk menuju gedung sekolah.

Ashilla Tiara. Gadis berparas cantik dengan senyum yang manis yang selalu terukir di wajahnya.

Drrtt... Drrtt...

Shilla segera merogoh kantung baju seragamnya.
Senyum Shilla langsung mengembang ketika membaca sebuah nama di layar handphonenya.
“Hallo, sayang. Kamu udah berangkat sekolah? Udah sarapan belum? Udah ngerjain pr kan?”

Shilla tertawa geli mendengar ocehan seseorang disebrang sana itu, “Hai, sayang. Aku nyampe sekolah nih. Semua pr aku udah beres kok.” jawab Shilla. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju gedung sekolahnya itu.

“Bagus kalo gitu. Tapi kamu kok belum jawab pertanyaan aku yang satunya sih?”

“Pertanyaan yang mana?”. Shilla telah memasuki gedung sekolahnya. Seperti biasa, banyak mata yang memandangnya tak suka.

“Kamu Udah sarapan kan, sayang?”

“Aku gak sempet, hehe. Nanti aja deh istirahat aku makan.” Jawab Shilla. Lama-kelamaan Shilla muak dengan tatapan orang-orang disekitarnya.

“Kamu ini, ya, bandel dasar! Pokoknya aku gak mau tau, kamu harus makan!”

“Iya sayang, iya." jawab Shilla. Orang-orang disekitarnya terlihat ingin muntah. Tapi Shilla tetap tak perduli. 

“Yaudah, awas kalo sampe gak makan! Udah dulu, aku ada pekerjaan lagi nih. Jaga diri baik-baik, sayang. I love you, mwah.”
“Iya, sayang. Love you too.”

Sambungan telepon terputus.

Shilla menyimpan kembali handphonenya di saku seragamnya. 

“Pagi-pagi udah bikin orang lain enek aja. Jijik.”

Shilla hanya dapat tersenyum menanggapi ocehan-ocehan dari orang-orang seperti mereka.

’mereka mungkin merasa hidupmu terlalu menarik, Shill. Jangan pedulikan ocehan mereka’, batin Shilla berucap.

Shilla telah sampai di depan lift. Sekolah Shilla memang terdiri dari beberapa lantai. Dan kebetulan, kelasnya ada di lantai ke-empat. Jadi Shilla lebih memilih menaiki lift daripada tangga.

Tapi sejujurnya, lebih baik naik tangga. Ia bisa berjalan sendirian. Tidak dengan berada di dalam lift yang harus berdesak bersama orang-orang yang selalu berbusa-busa mengoceh tentang hidupnya.

Apa kalian bertanya-tanya mengenai hal demikian? Mengenai Shilla yang dibenci oleh teman-teman di sekolahnya?

Shilla adalah gadis yang beruntung. Ia memiliki seorang kekasih yang sangat menyayangi, dan setia kepada Shilla. Kekasihnya ini lah yang menjadi bahan omongan setiap orang di sekolahnya.

Gabriel Stevent. Siapa yang tak mengenal pemuda ini di sekolah Shilla? Jangankan di sekolah Shilla, di seluruh Indonesia saja mungkin mengenalnya.
Gabriel adalah seorang penyanyi muda berbakat yang kini tengah naik daun. Namu bukan naik daun sambil bilang ‘Pucuk-pucuk’.
Dan Gabriel ini adalah kekasih Shilla.
Hal inilah yang membuat Shilla jadi bahan omongan orang-orang disekolahnya. Menyebalkan!

Ting!

Pintu lift terbuka.
Siswa-siswi yang juga menunggu lift seperti Shilla, segera membrudul masuk ke dalam. Shilla tak seperti meraka yang brutal. Malah ia menjadi korban kebrutalan mereka masuk lift, karena mereka masuk dengan berdorong-dorong sehingga mengenai Shilla.

Shilla hanya dapat menarik nafasnya. Lalu ia pun memasuki lift tersebut.

Pintu lift tertutup, dan siap mengantarkan orang-orang yang ada di dalamnya. 

“Sepi banget. Tumben gak bikin telingaku panas.” ucap Shilla pelan.
Ia melihat ke sekelilingnya.
Pandangan orang-orang itu terlihat kosong. Aneh. Tak seperti biasanya yang membicarakan Shilla.


Shilla jadi tertawa geli.

Coba ada kamu disini, Yel. Pasti kita udah ketawa bareng deh lihat mereka. ucapnya dalam hati.

Shilla melirik ke sebelahnya, pandangan kosong itu berubah menjadi tatapan mata membulat. Ia melirik ke sekelilingnya. Bukan hanya membulat, tapi mendelik pada Shilla.
Menyeramkan. Shilla ingin sekali berteriak untuk keluar dari lift ini. 

“Sepertinya aku tarik lagi ucapan aku tadi, Yel. Waktu ini milik mereka sekarang, aku tak bisa berbuat apa-apa.” ucap Shilla pelan.

Ting!

Akhirnya penantian Shilla terkabulkan. Ia telah sampai di lantai empat, tempat kelasnya berada.
Pintu lift terbuka. Dan lagi, orang-orang itu berdesak-desakan keluar. Shilla hanya dapat pasrah dan tetap tersenyum. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari lift, dan menuju kelasnya.

***

Shilla memasuki kelasnya, lalu menghampiri bangkunya, dan duduk.

Shilla tersenyum pada beberapa teman sekelasnya yang kini sedang menatap ke arahnya. Bukannya dibalas dengan senyuman lagi, ia malah mendapan tatapan menyakitkan dengan delikan yang dahsyat. Tapi ia tak peduli. Toh, ia sudah berusaha bersikap baik pada mereka.

“Shilla!” Shilla mendongakkan kepalanya saat mendengar suara yang tak asing lagi baginya itu.

“Hei, aku denger hari ini Gabriel pulang, ya? Cie pasti kamu seneng banget deh.”

Gadis ini! Berbicara hal seperti itu hanya akan menambah tatapan membunuh dari teman-teman sekelasnya. Untuk saja kata 'tatapan membunuh' itu hanya sebuah pribahasa. Kalo benar, bisa-bisa Shilla sudah berdarah-darah dan wassalam sekarang.

“Ify! Kecilin suara kamu dong.” ucap Shilla.
Ify, sahabat Shilla sejak SD ini adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengannya disekolah.

“Apa sih? Biasa aja lagi. Aku emang bener kan? Gabriel mau pulang hari ini?” Ify semakin sengaja mengeraskan suaranya, dengan tujuan agar orang-orang mendengarnya. Benar saja, bola mata mereka rasanya seperti ingin keluar dan Ify dengan senang hati mau menjadikan bola mata itu sebagai bola golf.

Shilla menepuk jidatnya. Memang kelakuan sahabatnya ini selalu saja begitu.

“Terus, emang tournya udah selesai, ya?” Ify duduk disebelah Shilla dengan memangku ransel ringannya.

Shilla tersenyum, lalu menanggukkan kepalanya. "Iya, dan hari ini dia pulang. Rasanya seneeeeng banget." ucap Shilla. Tersirat jelas kebahagiaan di wajahnya.

Gabriel sedang melakukan tour dibeberapa kota besar di Indonesia beberapa minggu ini. Tepatnya sih selama 4 minggu lebih. Sekitar sebulanan lah. Hal ini membuatnya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Namun hal ini tak menyurutkan pemuda tampan yang berbeda tiga tahun dengan Shilla itu, untuk selalu berbagi kabar dengan gadisnya.

Berbeda tiga tahun? Ya, Gabriel kini sudah duduk di bangku kuliah. Kenapa Shilla dan Gabriel dapat menjadi sepasang kekasih? Ceritanya panjang. Pertemuan tak terduga itu yang mempertemukan mereka. Dan cinta itupun tumbuh, dan bertahan sampai hampir dua tahun ini, dan semoga seterusnya.

“Aku juga ikut seneng kalo kamu seneng, Shill.” ucap Ify. Lalu ia memeluk sahabatnya itu.

***

“Gabriel...”

“Iya, Ma. Ada apa?” Gabriel menoleh pada sumber suara yang memanggilnya tadi.

“Semua barang-barang udah kamu masukin kan ke koper?” tanya wanita paruh baya yang tak lain lagi adalah Ibunda Gabriel, sekaligus manajernya.

“Udah Mama, sayang. Semua udah aku masukin kok.” jawab Gabriel. “Yaudah, cepet siap-siap, ya. Bentar lagi kita ke bandara.”

“Iya, Ma.”
Gabriel menatap pintu kamar hotelnya yang telah ditutup oleh mamanya. Lalu ia merebahkan diri diatas tempat tidur itu.

Gabriel menatap langit-langit kamar hotel itu.

“Aku kangen banget sama kamu, Shill. Gimana kabar kamu? Apa mereka masih menghakimi kamu?” Ucap Gabriel.
Matanya masih menatap langit-langit kamar. Ia seakan akan melihat wajah gadisnya disana.

“Ah, aku rindu berat, Shill!” Gabriel bangun dari tidurnya, lalu mengacak frustasi rambutnya.

Gabriel sangat mengkhawatirkan Shilla. Ia sudah tau cerita tentang teman-teman di sekolah kekasihnya itu. Bukan dari Shilla. Shilla tak pernah mengatakan hal itu pada Gabriel. Tapi dari sahabatnya, Ify. Gabriel sangat mengagumi Shilla. Ia selalu tetap sabar dan tegar menghadapi teman-teman sekolahnya itu.

Rasanya, Gabriel jadi semakin ingin bertemu dengan gadisnya itu. Memeluknya, dan mengelus lembut rambut panjang gadisnya itu.

Gabriel langsung menuju tasnya yang ia simpan dikursi. Lalu mengambil sebuah laptop.

Gabriel segera menyalakannya, lalu ia membuka Skype di laptopnya itu.

**

“Yeay, guru-guru lagi mau rapat Shill! Asik seneng banget!”
Ify yang baru datang dari ruang guru untuk mengantarkan beberapa buku ke meja Pak Anton, tiba-tiba saja mengagetkan Shilla.
Untungnya, yang diucapkan Ify itu berita yang menyenangkan. Kalau tidak, sudah Shilla cakar-cakar wajah sahabatnya itu.

“Yaudah, berarti aku bebas dong buat mikirin Gabriel sepanjang jam.” tanggap Shilla yang masih sibuk dengan benda ditangannya.

“Yee, daripada harus mikirin Gabriel, mending juga ngerumpi sama gue, eh, aku!” Ify menggembungkan pipinya dengan lucu.

Shilla hanya tertawa kecil melihatnya. Ify juga terkadang keceplosan berbicara gue-elo pada Shilla. Sedangkan Shilla sendiri selalu bicara aku-kamu gitu.

PLUK!

“Aww!” Shilla meringis pelan ketika merasa sesuatu mendarat di kepalanya.

“Kenapa, Shill?” tanya Ify khawatir.

“Enggak kok, Fy. Gak apa-apa.” jawab Shilla. Lalu ia melirik ke belakang. Ia tau siapa yang melakukan ini.

“Itu apaan sih, Shill?” Ify melirik ke sebuah benda yang sejak tadi dimainkan Shilla.

Shilla ikut menatap ke benda yang ada di genggamannya, "Ini kalung pemberian Gabriel sebelum dia berangkat tour, Fy." jelas Shilla sembari menatap kalung pemberian kekasihnya itu.

“Wah, so sweet banget di kasih begituan!”

Shilla hanya tersenyum mendengar ucapan sahabatnya itu.

“Ify!” Ify maupun Shilla menoleh ke sumber suara yang memanggil Ify.
“Apaan?”
“Kata Rio, sekarang rapat OSIS.” jawab seorang murid lelaki bernama Ray itu.
“Hah? Kok mendadak sih?” Ify jadi kesal sendiri.
“Mana gue tau. Udah buruan!” Ray langsung nyelonong dan berjalan mendahului Ify.
“Ih, dasar ketos pesek!” Ify jadi mengomel sebal.

“Udah, sana. Itu tanggung jawab kamu lho, Fy. Kamu kan anggota OSIS.” ujar Shilla.
“Hmm, iya deh. Maaf, ya, Shill, aku gak bisa temenin kamu.” jawab Ify.
“Gak papa.” jawab Shilla.
“Kalo ada yang gangguin kamu, kamu harus bilang sama aku pokoknya!”
“Iya iyaaa...”

Ify selalu saja berkata seperti itu. Ia selalu membela sahabatnya kalau ada yang membicarakan atau berbuat tak seharusnya pada Shilla. Bukannya Shilla tak bisa membela diri. Ia hanya tak mau masalah menjadi runyam.

Shilla kembali memainkan kalung itu, dengan menggunakan pulpennya.

PLUK!

Lagi-lagi Shilla merasa sesuatu menubruk kepalanya. Shilla melirik ke arah belakang. Orang-orang yang ada disana seperti pura-pura sibuk. Seperti sedang bermain laptop, game, atau mengobrol. Seolah tak berbuat apa-apa.

PLUK!


Sesuatu kembali mendarat. Kali tidak mengenai kepalanya. Tapi mendarat di mejanya. Bukan berupa gumpalan kertas seperti sebelum-sebelumnya. Namun berbentuk pesawat kertas.

Shilla melirik ke sebelahnya, kepada teman di sebrang bangkunya. Teman lelakinya itu hanya menatap Shilla dengan datar. Entah apa maksudnya. Shilla membuka lipatan pesawat kertas itu.

“Masih bertahan buat dibenci warga sekolah lo? Gak niat buat putus sama si artis itu? Haha” Shilla membaca tulisan di kertas itu. Tapi ia tak mau memperdulikannya.

Shilla merogoh isi tasnya. Dan mengambil laptopnya. Lalu ia berjalan keluar kelas dengan membawa laptopnya.
Ia berjalan dengan santai. Tanpa memperdulikan tatapan jijik dan bisikan-bisikan dari teman-temannya, yang mungkin kini lebih pantas disebut penggemarnya.
Kenapa penggemar Shilla? Lha, buktinya mereka selalu memperhatikan gerak-gerik Shilla, dan selalu membicarakan tentang Shilla.
Lalu itu namanya penggemar kan?

***


Shilla duduk di sebuah kursi panjang yang ada di bawah pohon rindang, di halaman belakang sekolah. Yang sebelumnya, ia harus turun dulu ke lantai dasar untuk menuju kesana.

Shilla membuka laptopnya. Lalu menyalakannya.

"Kadang aku benci sama argumen orang-orang tentang aku dan kamu, Yel." Shilla berkata sambil memandangi laptopnya yang mulai menyala.

"Mereka sok mengerti tentang kita. Mereka sok tau!" Shilla menggerakkan pointernya ke folder pribadinya.

Ia memperhatikan foto-foto yang ada di folder tersebut. Foto-fotonya bersama Gabriel.
Saat bermain di taman, makan popcorn dan eskrim, cover lagu, bahkan foto saat mereka hunting ke sebuah gunung.
Indah. Sangat Indah.

Shilla menutup foto-foto tersebut. Lalu beralih ke sebuah aplikasi di laptopnya.

Skype. Inilah yang membuat Shilla dan Gabriel masih dapat berkomunikasi dengan tatap muka, meskipun mereka berjauhan.

“Shilla!”

Shilla terkejut, dan hampir saja menjatuhkan laptopnya.

"Iel!"
Shilla terkejut karena melihat wajah Gabriel yang sudah nongol di Skypenya.

"Aku ngagetin kamu, ya? Duh, maaf, ya." Shilla tersenyum melihat wajah khawatir Gabriel.

“Enggak kok. Kok bisa sih kamu juga lagi buka Skype?”

“Hehe mungkin kita memang jodoh.”

“Haha apaan sih gak nyambung.”

“Hehe, aku kangeeen banget sama kamu, Shill.”

“Aku juga kangen banget, Yel."

Gabriel merasa ada yang tak beres dengan gadisnya. Kenapa gadisnya itu menjawab dengan tidak semangat seperti biasanya?

“Kamu kenapa? Kamu abis nangis?” tanyanya.

Shilla terhenyak, "Eh apa? Enggak kok, aku gak kenapa-napa." elaknya.

"Jadi kamu udah mulai berani bohong sama aku, Shill?" Gabriel berusaha memojokkan Shilla agar gadisnya itu mau bercerita.

"Bu-bukan gitu. Aku gak nangis kok. Ini aku cuma kelilipan aja, tadi ada debu yang masuk deh kayaknya, pas angin." jelas Shilla masih mengelak.
Padahal dimatanya terlihat jelas bendungan air yang siap meluncur menuruni pipinya.

Shilla terhenyak saat tiba-tiba Gabriel menjulurkan jemarinya, seperti meraba layar laptopnya.

"Kamu jangan nangis, Shill. Apapun masalah kamu, kamu harus cerita sama aku. Aku janji bakal bantu semua masalah kamu. Kamu gak sendiri kok, sayang."

Shilla tersenyum terharu. Air matanya kini sudah meluncur dengan sukses. Jadi begini ya, rasanya LDR?

“Ayo cerita sama aku.” ujar Gabriel dengan lembut. “Apa kamu nangis gara-gara temen-temen sekolah kamu yang sering ngomongin kamu itu?”

Shilla tersentak kaget. Darimana Iel tau?, batinnya.

"Aku udah tau itu kok. Ayo kamu cerita." Gabriel tersenyum dengan manis hingga mampu membuat Shilla lebih tenang dari sebelumnya.

“Aku... Aku kadang kesel, Yel. Aku lelah sama mereka semua. Mereka bisanya cuma menghakimi kita! Seolah-olah mereka itu tau semua tentang kita. Aku sebel! Kesel!” Shilla mulai menceritakannya. Ia tak sanggup lagi memendam semuanya.

Gabriel hanya memandangi gadisnya itu, sambil mendengarkan ceritanya dengan seksama.

“..... Kenapa sih dengan mereka semua? Apa aku memang gak pantes buat kamu, Yel?” Shilla menatap tepat pada mata Gabriel. Meminta penjelasan di akhir ceritanya.

Gabriel jadi kikuk, “Shill, kamu ngomong apaan sih, ah?”

“Mungkin aku emang gak pantes buat kamu, ya, Yel.” ucap Shilla lagi dengan suara bergetar.

“Shilla, kamu harus denger aku. Setiap orang bebas berargumen. Tetapi, bukan berarti semua argumen yang mereka berikan harus kita taati dan lakukan.” Gabriel menghela nafasnya, “Kamu begitu pantas buat aku, Shill. Malah mungkin, aku yang gak pantas buat kamu, karena aku gak sesempurna kamu.”

“Di dunia ini gak ada yang sempurna, Yel.” Sanggah Shilla.

“Tuh kamu tau!” Gabriel tertawa kecil karena berhasil memancing Shilla, "Kita berdua itu gak sempurna. Makanya kita harus bersama, supaya kita dapat lebih sempurna." Gabriel mengembangkan senyum manisnya.

Shilla jadi dibuat tertawa, "Kamu ini, Yel, ada-ada aja!"
Gabriel juga jadi ikut tertawa.

PLUK!

“Aww!” Shilla memekik cukup keras.

“Shilla, kamu kenapa!” Gabriel jadi panik sendiri melihat gadisnya yang meringis kesakitan.

“Enggak, gapapa kok.” Jawab Shilla.

“Shill...”

Shilla tersenyum, "Kamu inget gak, aku pernah bilang, kalau aku punya lagu favorit yang bisa bikin aku sabar buat pertahanin hubungan kita?"

Gabriel mengangguk, “Ya, aku inget itu.”

Shilla tersenyum, lalu melantunkan sebuah lagu,
“Don't you worry your pretty little mind
People throw rocks at things that shine
And life makes love look hard
The stakes are high, the water's rough
But this love is ours”


Gabriel tersenyum haru mendengar apa yang dinyanyikan Shilla.

“Aku percaya, kita bisa menghadapi semuanya. Terlebih kamu. Aku sayang kamu.” ucap Gabriel dengan tulus.

“Aku juga sangaaaat sayang kamu.”

***

Bel istirahat telah berbunyi.

Ify yang sudah selesai mengikuti rapat OSIS kembali ke kelasnya, dan menghampiri sahabatnya yang sedang sibuk membereskan buku-buku yang ada di atas mejanya.

"Ayo, Shill, ke kantin. Aku laper nih udah gak kuat." ajak Ify dengan lebaynya.

"Yaampun, rapat OSIS bisa menyebabkan orang kelaparan ternyata." komentar Shilla yang langsung mendapat delikan mata dari Ify.

Shilla dan Ify pun berjalan keluar kelas, dan menuju ke kantin.

***

“Hari ini, Gabriel pulang ke Jakarta, lho!!”
kumpulan cewek-cewek centil yang duduk di tak jauh dengan meja Shilla di kantin, sedang heboh membicarakan kepulangan Gabriel.

Shilla hanya diam saja tak menanggapi mereka. Begitu pula dengan Ify. Mereka masih asik melahap baksonya.
Lagipula, wajar saja jika mereka membicarakan kepulangan Gabriel. Mereka kan termasuk penggemarnya. Dan pastinya, pembenci hubungan Gabriel dengan Shilla.

“Gue pengen jemput dia di bandara! Oh my God! Diapasti makin ganteng. Dan so pasti butuh gue yang cantik jelita ini.”
“Wooo! Ngayal lo!”

Shilla dan Ify hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan mereka.

“Ya, tapi mendingan elo sedikit lha daripada pacarnya itu.” Sahut salah seorang dari mereka. Yang Shilla ketahui bernama Angel.

“Yaiyalah, dari Dhea aja udah kalah, apalagi sama lo, Ngel. Menurut gue sih Gabriel lebih pantes sama lo daripada Shilla.”

Sial! Mereka membuat nafsu makan Shilla maupun Ify jadi hilang!

“Haha! Ya iyalah, apa bagusnya sih si Shilla? Mungkin dia pake pelet biar Gabriel jadi suka sama dia.”

“Pelet apa? Pelet ikan? Hahaha.”

Tawa renyah dari mereka membuat amarah Ify memuncak.

“Wajar, sih, dia kan gak ada apa-apanya sama kita. Hahaha!”

Ify tak sabar lagi. Ia langsung bangkit berdiri dan menghampiri kerumunan geng Angel itu.

BRAKKK!!

Ify menggebrak meja mereka dengan keras.

Shilla langsung berlari menghampiri Ify. “Aduh, Ify.” Ucapnya.

“Maksud kalian apa, hah? Jelek-jelekin sahabat gue seenaknya.” Kata Ify dengan menggebu-gebu.

“Apaan sih, lo, dateng-dateng marah-marah gitu.” Sahut Zevana.

“Gue gak akan marah-marah kalo lo gak ngomong macem-macem tentang sahabat gue!” bela Ify.

Shilla menghela nafasnya, “Udah, Fy, udah. Biarin aja.”

Namun Ify tak memperdulikan ucapan Shilla.

“Gue ngomong fakta. Gue jauh lebih baik daripada temen lo itu.” Bela Angel.

“Ngomong sama tangan, nih!” Ify memperlihatkan telapak tangannya. “Gabriel juga gak bakal milih Shilla kalo dia gak punya suatu kelebihan. Lagian, itukan pendapat lo sendiri kalo lo lebih cantik daripada Shilla. Padahal, Shilla jauuuuh lebih cantik daripada lo! Bahkan dia bukan Cuma cantik rupa. Tapi juga cantik hati. Beda sama lo!” Ify menghela nafasnya setelah berkata ukup panjang seperti itu.

“Alah, sok-sokan belain dia lo! Lagian, kayak hidup lo udah bener aja, Fy! Ngaca dong ngaca!” sahut Dhea membela temannya.

“Mungkin Ify sama Shilla gak punya cermin dirumahnya. Mereka pikir mereka baik apa.”

Hampir saja Ify melayangkan tamparannya di wajah Angel. Untung saja ada tangan yang mencegahnya.

“Seharusnya kalian yang berkaca.”

Semua mata mengarah pada seseorang yang berbicara tersebut.

Shilla menatap tajam pada Angel dan Dhea, “Kalian bilang, Ify harus berkaca? Apa kalian gak sadar kalo seharusnya kalian yang berkaca. Kalian seenaknya menjudges orang lain, merasa diri kalian udah sempurna?”

Angel, Dhea, maupun konco-konconya yang lain menatap Shilla tak suka. Berani-beraninya dia.

“Kalian boleh jelek-jelekin aku. Tapi enggak untuk sahabat aku. Kalian gak berhak buat lakuin itu!” Shilla menatap Ify, Ify membalas dengan tatapan haru.

“Kalian juga boleh berargumen tentang hubungan aku dengan Gabriel. Kalian bebas bicara apa saja. Tapi, apapun ucapan kalian, itu gak akan pernah ngubah semuanya.” Jelas Shilla. Shilla berbicara dengan tenang dan santai. Tidak pakai emosi.

“Tapi sayangnya, gue gak yakin kalau hubungan lo sama dia bakal bertahan lama. Paling, sebentar lagi Gabriel bakal lebih milih cewek lain.”

Shilla hanya tersenyum menanggapi ucapannya, “Gabriel itu lelaki yang setia. Jadi, Gabriel gak mungkin ngelakuin hal itu.”

“Haha iya gue lupa! Dia kan pasti gak bias berpaling sama lo, karena lo pake pelet. Haha.”

Lagi-lagi Shilla hanya tersenyum. Menanggapi orang-orang seperti ini tak perlu pake emosi dan tenaga. Nanti malah capek.
Shilla menahan Ify yang akan menyemburkan ocehan amarahnya.

“Terserah kalian mau bilang apa tentang aku. Aku gak peduli. Lagipula, untuk apa pakai pelet? Kalian masih hidup di jaman purba?” jawab Shilla.

Ify dan beberapa orang yang mendengarnya sontak tertawa.

“Apa sih salah aku? Sampe kalian terus-menerus ngomongin aku?” Tanya Shilla. Ucapannya jadi lebih dingin dari sebelumnya.

“Salah lo? Lo itu sok kecantikan tau gak!” sahut Dhea.

“Shilla memang cantik dari sononya kali.” Bela Ify.

“Dan kesalahan terbesar lo, lo berani-beraninya pacaran sama Gabriel!” sahut Angel.

Shilla menaikkan alisnya, “Emang, apa salahnya kalo aku pacaran sama dia, ha? Rio aja setuju-setuju aja tuh.”

Rio… Rio… itu sih karena dia mau aja lo bodohi.”

Shilla mengusap dadanya. “Kenapa sih kalian selalu menghakimi hubungan aku sama Gabriel? Kalian tuh seolah-olah juri dihidup aku, yang komentar seenaknya.”

Angel tertawa licik, “Jelas lah gue dan hampir seluruh murid di sekolah ini komentarin hubungan kalian. Kalian tuh gak cocok. Gak!”

Shilla menghela nafasnya. Emosinya bisa saja meledak jika ia tak ingat, kalau itu hanya buang-buang tenaga saja. “Terserah kalian mau ngomong apa aja. Yang jelas,aku udah milih Gabriel. Dan Gabriel juga udah memilih aku.”

“Aku tegasin sekali lagi. Apapun yang kalian omongin tentang hubungan kami,itu gak akan berpengaruh buat hubungan kami. Karena gak ada yang bisa memisahkan kami, kecuali kematian. Jadi kalian gak usah capek-capek urusin hubungan aku dan Gabriel.” Tegas Shilla.

“Ayo, Fy, kita ke kelas.” Ajak Shilla. Menyudahi perdebatan ini.

Angel dan kawan-kawan hanya menatapnya dengan tak suka.

Ify tertawa puas melihat wajah mereka. Lalu ia berlalu bersama Shilla.

“Sialan lo, Shill.”

***

“Shilla, kamu pulang duluan aja. Aku masih ada kegiatan nih buat nyiapin pensi besok.” Ucap Ify ketika mereka bersiap untuk pulang.

Shilla mengangguk, “Yaudah, hati-hati, ya.”

“Kamu yang harusnya hati-hati.” Balas Ify yang diiringi cengirannya.

“Hehe, ya udah, aku duluan, ya, Fy. Daaahh.” Ucap Shilla seraya berlalu keluar kelas. Sedangkan Ify pergi ke kelas sebelah dulu, untuk menemui teman sesame OSISnya.


Shilla memasuki lift dengan hati yang tenang. Sejak kejadian di kantin tadi, ia merasa menjadi Shilla yang baru. Shilla yang tidak hanya diam diperlakukan tak enak oleh teman-teman sekolahnya.

“Hai, Shill.” Seseorang yang juga memasuki lift bersama Shilla menyapanya.

Shilla tersenyum heran. Baru kali ini Shilla mendapat sapaan lagi dari teman-temannya.

“Aku salut sama kamu. Kamu bisa ngelawan tuh si Angel, sampe dia diem kayak batu.” Orang itu tertawa. Shilla jadi ikut tertawa kecil.

“Nova, bukannya kamu juga benci sama aku, kayak mereka?” Tanya Shilla.

Nova tersenyum, “Mungkin aku salah nilai kamu waktu dulu, Shill. Maafin aku, ya.”

Shilla tersenyum ragu. Bukannya ragu dengan permintaan maaf Nova. Tapi... ia merasa aneh dengan semua ini.

“Sebenernya gak semuanya orang-orang yang benci kamu tuh bener-bener membenci kamu, Shill. Mereka, dan termasuk aku, jadi kayak dipengaruhi oleh Angel gitu deh.” Jelas Nova.
“Oh, ya?” Tanya Shilla.
Nova mengangguk. Tapi yaudahlah, ngapain ngurusin orang kayak mereka. Iya, kan?” ucap Nova.
Shilla tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Nova ikut tersenyum. “Aku percaya kok, kamu itu orang yang sangaaaat baik.”
Shilla tertawa kecil, “Amin. Makasih.”

TING!!

Mereka telah sampai di lantai dasar. Lalu keluar bersama.

“Aku duluan, ya, Nova!” Shilla melambaikan tangannya pada Nova.

Novapun membalas lambaian tangannya, “hati-hati, ya, Shill.”

Shilla mengangguk. Ah! Rasanya senang sekali.

***


Shilla mengayun-ayunkan kakinya sembari duduk di sebuah halte dekat sekolah. Ia sedang menunggu bus untuk menuju ke bandara. Untuk menjemput kekasihnya.

“Ternyata, hal yang aku lakukan tadi, bisa merubah sikap orang-orang terhadap aku.” Ucapnya.
Ia merasa senang akan sikap teman-teman sekolahnya yang kini mulai lebih baik terhadapnya. Jika saja ia melakukan ini dari dahulu, mungkin ia tak akan sakit hati lebih lama. Tapi yasudah lah, yang penting, sekarang semuanya telah baik-baik saja.

Shilla segera bangkit dari duduknya ketika sebuah bus datang.

Shilla duduk di kursi yang dekat dengan jendela. Ia menatap keluar dengan senyum yang terus mengembang diwajahnya.

Lalu ia beralih ke tasnya. Dan mengambil sebuah tab. Kemudian ia menonton sebuah video dirinya dan Gabriel.

Ia jadi tertawa kecil saat melihat video tersebut.
Shilla tau, seberat apapun, dan setinggi apapun tantangan yang menghadang hubungannya dengan Gabriel, ia dan Gabriel pasti bisa menghadapinya. Karena ini adalah cinta mereka. Dan mereka pasti dapat menghadapinya.


Shilla telah sampai di bandara.
Ia segera turun dari bus, dan berjalan masuk.

Shilla memperhatikan sekelilingnya. Mencari seseorang yang telah lama tak ia jumpai.
Sampai matanya menangkap sosok yang tak asing lagi.

“Shilla!”

Shilla langsung saja berlari dan berhambur ke pelukan Gabriel. Gabriel memeluk kekasihnya dengan erat. Seakan-akan tak ingin melepasnya lagi.

“Akhirnya, kamu pulang juga, Yel.” Ucap Shilla.

Gabriel dengan terpaksa melepas pelukannya, “Kamu baik-baik aja, Shill?” ia mengelus pipi gadisnya dengan lembut. Rasanya ia lama sekali tidak melakukan ini. Gabriel sangat focus menatap wajah gadisnya. Ia tak mau pergi dari wajah cantik itu.

Shilla mengangguk lucu.

“Kamu enggak…”
“Syut!” Shilla meletakkan jarinya di depan bibir manis Gabriel. “Semua udah baik-baik aja, Yel.”

Gabriel tersenyum senang. Lalu ia kembali memeluk gadisnya lagi.

“But this love is ours.” Ucap keduanya.


***

THE END

***

Gak perlu Tanya-tanya tentang cerbung-cerbung aku kapan dilanjut. Karena aku Cuma bisa jawab, “Entahlah...”

Thanks udah bacaaaaaaaaaa mwah :*
Sampai jumpa di next story ku yaaaa

@murfinurh_

Jumat, 14 Maret 2014

Lucky!! #cerpen 4/4

Ini Part terakhirnya teman-temaaaaaan :D
Semoga suka yaaa ;)

PART 4 of 4
.
.
.

Shilla mengerjapkan matanya berulang-ulang. Lalu melirik ke jam dinding kamarnya. Sudah pagi ternyata.
“Duh..” ia meringis pelan. Merasakan ada yang aneh pada matanya.
Ah ya. Matanya terasa perih.
Shilla berjalan ke arah meja rias dikamarnya. Ia menatap tubuhnya di pantulan cermin itu.
Matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Pasti ini efek menangis semalaman.

“Kenapa gue harus nangis?” ucapnya datar.
Iya. Kenapa dia harus nangis. Kenapa? Kenapa? KENAPA?
“Ternyata Gabriel bener. Cakka bukanlah cowok yang baik buat gue. Dia cowok yang...” Shilla menghentikan ucapannya.
Ia tiba-tiba terduduk di lantai begitu saja.
“Lo jahat, Kka! Jahat!” Shilla kembali menangis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Elo jahat...” lirihnya. “Cowok yang gue puji setiap hari, ternyata Cuma cowo berengs*k!”

Lebay?
Shilla tak perduli jika sikapnya yang menangis histeris ini disebut lebay. Wajar saja ia merasa se-frustasi ini. Cakka adalah cinta pertama Shilla. Walaupun Shilla memang cantik, dan banyak yang menyukainya, tapi baru kali ini ia merasakan cinta dan pacaran.
Shilla bukan gadis polos lagi. ia tahu dari teman-teman perempuannya bahwa cinta pertama itu mengesankan, dan sulit untuk dilupakan.
Mengesankan? Apa yang mengesankan? Kisah cinta pertama Shilla ternyata berbeda dengan teman-temannya. Ia merasa kecewa, tersakiti, dan ia benci kisah cinta pertamanya ini. Ia benci Cakka! Benci!!!

**

Gabriel seperti patung bernafas saat ini. Ia duduk di sofa dan menghadap ke tv. Mungkin orang lain akan menyangka bahwa ia sedang asik menonton tv. Jawabannya? Tidak!
Ia menjadi kaku. Tubuhnya kaku, matanya kaku, semua alat inderanya kaku. Dan yang terus berjalan hanyalah... Otaknya dan nafasnya.
Ia terus terbayang-bayang akan kejadian kemarin. Bukan! Bukan kejadian dimana Cakka menghianati Shilla.
Tapi, saat ia tak sengaja menonjok wajah gadis itu. Lalu gadis itu memandangnya dengan penuh kebencian, dan amarah. Bahkan, tak sedikitpun gadis itu menatapnya dengan halus.
Ia merasa terpojok. Terjerumus pada masalah besar yang akan mempengaruhi persahabatannya dengan gadis itu.
Ia menyesali semuanya. Semua.
Ia menyesal tak dapat menjaga gadis itu, ia menyesal tak bisa menjauhkan gadis itu dari Cakka. Dan.. ia menyesal tak memberitahukan tentang perasaannya sejak dulu.
Gabriel menyesal.

Drrtt.. Drrtt
Tiba-tiba Gabriel merasakan getaran pada saku celananya. Dan hal itu langsung membuat Gabriel tersadar dari lamunan panjangnya.
Ia merogoh sakunya dengan malas. Dan mengambil benda mungil yang menyebabkan sakunya bergetar tadi.

From : Rio
07.05

Yel, gue khawatir nih sama keadaan Shilla. Gue takut Shilla kenapa-napa. Eh, maksud gue.. pokoknya, gue khawatir sama keadaan Shilla. Lo cek ke rumahnya dong, Yel. Gue gak bisa kesana. Soalnya tadi pagi-pagi banget nyokap ngotot gue nganterin dia ke bandara.

Gabriel menghela nafasnya sebentar. Lalu mengetik balasan untuk Rio.

To : Rio        
Sorry, Yo, gue rasa Shilla butuh waktu sendiri dulu.

Drrtt... Drrt..
Baru beberapa detik pesan Gabriel terkirim, tapi Rio sudah mengirim balasan.

From : Rio
07.07

EH DODOL! LO GAK KHAWATIR SAMA SHILLA? GUE TAU SHILLA BUTUH WAKTU SENDIRI DULU. TAPI SETIDAKNYA LO HARUS CEK KEADAAN DIA DONG!

To : Rio
Anjir! Gak pake capslock berapa sih, Yo? iya, gue kesana!      
                       
From : Rio
07.08

Hehe.. nah gitu dong, bro. itu baru namanya sahabat :)

Gabriel tak menggubris balasan sms dari Rio.  Ia langsung menuju ke kamarnya.
Rio benar, bagaimanapun, Shilla adalah sahabatnya. Ia harus mengetahui bagaimana keadaan gadis itu saat ini.

**

“Permisi, selamat pagi, tante.”
Seorang wanita paruh baya yang sedang asik dengan berkas-berkas di meja di hadapannya, menoleh pada sumber suara.
“Eh, nak Gabriel.” Ucap wanita paruh baya itu. Ia adalah Ibunda Shilla.
Gabriel tersenyum.  “Maaf tante, Gabriel lancing masuk duluan. Abisnya, tadi pencet bel gak ada yang nyahut. Yaudah, mumpung pintunya kebuka, jadi Gabriel masuk.”
“Oh, iya gakpapa kok. Tadi mungkin si mbok lagi keluar, dan tante lagi sibuk beresin berkas-berkas ini.” Jawab Mama Shilla.
Gabriel mengangguk faham. “Shilla.. ada, tan?” tanya Gabriel to the point.
Air muka mama Shilla berubah seketika. “Ada. Hanya saja...”
“Hanya saja? Kenapa, tante?” sahut Gabriel memotong ucapan Mama Shilla.
Mama Shilla mendongak, dan menatap Gabriel, “Semalam, setelah ia pergi dengan Rio, pulang-pulang ia berantakan. Dan ia langsung masuk ke kamarnya. Saat tante ingin mengecek keadaannya, tante mendengar Shilla menangis. Menangis histeris.” Mama Shilla menghela nafasnya, “Dan dia gak mau bukain pintu buat tante. Ia juga gak mau makan sampai sekarang. Apa, kamu tau apa yang terjadi sama Shilla semalam? Apa yang dilakukannya dengan Rio?” tanya Mama Shilla.
Gabriel menggelengkan kepalanya, “Dia hanya pergi biasa dengan Rio. Hanya saja, saat itu terjadi suatu kejadian tante. Tapi, hal yang membuat Shilla menangis itu tidak ada hubungannya dengan Rio.” Jelas Gabriel.
Mama Shilla menaikan sebelah alisnya kebingungan, “Maksud kamu?”
“Maksud saya.. em, rumit tante.” Gabriel tersenyum garing.
Mama Shilla menggeleng-gelengkan kepalanya, “Yasudah, ayo saya antar ke kamar Shilla.” Ucap Mama Shilla.
Gabriel hanya mengangguk, dan mengikuti Mama Shilla yang kini sudah menaiki tangga.

KREEEKK
Saat sudah sampai di depan pintu kamar Shilla, perlahan Mama Shilla membuka sedikit pintu kayu itu.

Mama Shilla memperhatikan sekitar ruangan kamar Shilla.
Tidak ada. Ia tidak melihat putrinya disana.

“Shilla lagi ngapain, tan?” tanya Gabriel yang penasaran.
“Kamu lihat sendiri saja, ya. Tante tinggal dulu.” Mama Shilla hanya tersenyum. sebenarnya, ia sudah mengetahui dimana anak gadisnya itu. Lalu, wanita paruh baya itu berjalan meninggalkan Gabriel yang masih berdiri di depan pintu kamar anak gadisnya.
Gabriel menyembulkan kepalanya. Memperhatikan ruangan itu dengan seksama. Sama seperti Mama Shilla tadi. Gabriel tidak melihat keberadaan Shilla.
Akhirnya, Gabriel memutuskan untuk berjalan masuk ke dalam pintu kamar Shilla.

Tap.. Tap.. Tap..
Tiba-tiba langkah Gabriel berhenti, tepat ketika ia melihat seorang gadis sedang duduk dengan memangku sebuah gitar putih, di sebuah kursi di balkon kamar.
Gabriel perlahan mendekati pintu menuju balkon yang kini terbuka lebar.

Ia memperhatikan apa yang sedang dilakukan Shilla.

“...kau yang selalu memeluku. Di saat ku menangis. Mengapakah kau pergi...

Gadis itu ternyata sedang bernyanyi. Tapi, sepertinya Gabriel belum pernah mendnegar lagu ini. Apa ini.. lagu ciptaan Shilla?
Gabriel tak tahu. Lalu ia mencoba mendengar kembali lagu yang sedang dinyanyikan gadis cantik itu.

“...Bahagia kau lihat terpuruk ku di sini. Menanti kau kembali..”

“...Aku masih cinta,aku masih sayang... Walau kau sakiti hatiku. Aku masih setia,masih tetap setia Walau kau sakiti hatiku. Kau hancurkan aku...”

Seketika itu pula, hati Gabriel merasa hancur. Seperti lagu yang Shilla nyanyikan.
Ia mematung.
“Shilla.. tetep cinta sama Cakka? Meskipun.. Cakka udah nyakitin dia?” lirih Gabriel.

Pedih! Gabriel merasa hatinya sangat perih. Bagaikan tersayat pedang tajam.
Ia buru-buru mengambil langkah seribu. Dan pergi meninggalkan kamar Shilla, tanpa mengeluarkan suara yang bisa membuat Shilla curiga.

**

Rio sedang menikmati tiupan halus angin di taman.
Rio sudah mengetahui apa yang terjadi pada kedua sahabatnya.
Barusan, Rio menerima pesan dari Gabriel. Dan Pemuda itu menceritakan apa yang terjadi dengan Shilla.
Termasuk, saat Shilla menyanyikan lagu itu.

Dan Rio, tanpa diberitahu oleh Gabriel pun, sudah tahu pasti bagaimana perasaan Gabriel saat ini.

“Kita harus melakukan sesuatu, Yo.”

Rio menoleh saat mendapati gadis disebelahnya itu berbicara.
Gadis yang baru kemarin resmi menjadi pacarnya.
Sebenarnya, Gabriel maupun Shilla tidak mengetahui tentang hubungan Rio dengan kekasih barunya itu. Rio sengaja tak memberitahu kedua sahabatnya itu, karena waktunya yang tidak tepat.

“Ngelakuin apa?” tanya Rio.
“Pokoknya, besok kamu ke sekolah ku, ya, sepulang sekolah.” Ujar gadisnya itu seraya tersenyum penuh makna.
Rio balas tersenyum dan mengangguk, “Iya. Nanti aku kesana. Aku tau kok, kamu pasti punya suatu rencana.”
Gadisnya itu mengangguk.
“Yaudah, pulang yuk, Vi.”

**

Keesokan harinya...

Hari ini, Shilla pindah tempat duduk dengan Patton. Ia memaksa cowok berkulit hitam manis itu untuk pindah, dan duduk bersama Cakka. Sedangkan Debo, teman sebangku Patton, menjadi duduk bersama Shilla.
Sebenarnya, Shilla merasa bodoh saat ini. Harusnya, ia tidak masuk sekolah hari ini!
Mau apa coba? Di kelas kan ada Cakka! Selain itu, juga ada Gabriel!
Tapi, Shilla tak perduli pada Cakka. Karena, cowok itu juga sudah tak memperdulikannya. Buktinya, cowok itu dengan SOPANNYA membawa pacar barunya kedalam kelas. Dan hal itu membuat Shilla muak! Apalagi, ditambah dengan reaksi teman-teman sekelasnya yang membuat Shilla semakin ingin lenyap saja dari dunia ini!
Tapi, yang membuat Shilla heran adalah sikap Gabriel.
Cowok itu.. sangat dingin. Bahkan, ia merasa itu bukanlah Gabriel! Gabriel benar-benar menjadi pendiam. Tak sedikitpun pemuda itu menoleh, apalagi menyapanya seharian ini.
Memang sih, ia masih agak sebal pada Gabriel gara-gara kejadian semalam. Tapi, itu kan sebuah ketidak sengajaan!
Ah sudahlah! Lama-lama Shilla pusing memikirkan hal ini!

Teng.. Teng..
Shilla yang memang sejak tadi tidak memperhatikan gurunya yang sedang menerangkan, dan malah asik melamun, kini tersadar karena suara bel yang nyaring.
Bel tanda pulang sekolah itu sudah menggema ke seluruh penjuru sekolah.

Shilla menoleh ke sekelilingnya. Eh, dimana Gabriel? Perasaan, tadi pemuda itu masih duduk dibangkunya.

“Shill..”
“Eh..” Shilla reflex kaget ketika Sivia, sahabat barunya memukul pelan bahunya.
“Iya, Vi? Ada apa?” tanya Shilla.
“Mau gak, anter gue? Sebentaaar aja.” Pinta Sivia memohon.
“Oh, iya boleh.” Jawab Shilla seraya berdiri dan membereskan barang-barangnya.
“Yuk..”

**

“Kita mau kemana sih, Vi?” tanya Shilla, karena sejak tadi ia dan Via berjalan saaaangat lambat.
Via nyengir gaje membalas pertanyaan Shilla. Lalu gadis itu melirik handphonenya.
Dan tersenyum penuh misterius.

“Ke ruang musik, yuk!” ujar Sivia.
Alis Shilla saling bertautan, “Tumben lo, ngajak kesana. Mau ngapain?” tanya Shilla.
“Enggak papa. Lagi pengen aja. Yuk!” ujar Sivia.
Shilla hanya mengangguk-ngangguk saja dengan ajakan Sivia.
Sivia tersenyum lebar, dan langsung meraih lengan Shilla dan menggandenganya. Dan jujur saja, hal itu membuat Shilla merasa ngeri...

“Oh ya, Shill, gimana sama perasaan lo sekarang?” tanya Sivia, “Eee maksud gue, lo udah move on kan dari si Cakkadut itu?” ralat Sivia cepat.
Shilla tersenyum getir. Dan hal itu membuat Sivia merasa bersalah.
“Sorry, maksud gue--“
“Gak apa-apa kok, Vi.” Potong Shilla cepat. “Perasaan gue ya gitu aja. Mau gimana lagi, emang begitu kan kenyataannya? Cakka itu playboy! Yaudah, berarti gue harus move on secepatnya.” Jelas Shilla.
Sivia mengangguk-angguk, “Kalau hari ini ada yang nembak lo, apa lo mau jadi pacarnya?” tanya Sivia.
“Maksud lo, Vi?” tanya Shilla tak mengerti.
“Eee maksud gue.. emm.. Eh, Shill, udah nyampe nih.” Jawab Sivia grasu-grusu, tepat di depan sebuah ruangan. Ruang musik.
“Oh, yaudah, ayo masuk.” Ujar Shilla.
“Em, ee.. tapi, lo masuk duluan aja deh, Shill. Nanti gue nyusul. Gue kebelet nih. Pengen ke toilet dulu, hehe..” balas Sivia dengan alibinya.
Shilla hanya mengangguk saja. “Yaudah, cepetan, ya.” Ujar Shilla.
Sivia ngangguk-ngangguk antusias.

Shilla perlahan memegang knop pintu ruang musik setelah kepergian Sivia.

KREKK...
Decitan pintu yang terbuka membuat telinga Shilla merasa ngilu.
Baru saja Shilla akan melangkahkan kakinya kedalam, tiba-tiba ia mendengar sesuatu dari dalam.

CIIITT..
Shilla kenal betul dengan suara itu. Itu adalah suara gesekan antara lantai dengan kaki kursi yang di geser. Dan sepertinya, itu kursi yang ada di depan grand piano.
Shilla menyembulkan kepalanya kedalam. Mencoba melihat, siapa yang sebenarnya menyebabkan bunyi itu.

**

Gabriel menggeser sebuah kursi cukup panjang yang ada di depan sebuah grand piano berwarna putih di ruang musik.
Setelah itu, ia duduk dengan manis di kursi itu.

Gabriel menghela nafas berat. Ia meraba tuts piano  yang berwarna putih dan hitam itu.

“Gue benci mencintai sahabat gue sendiri.” Ucap Gabriel tiba-tiba.
“Ia adalah orang, yang sama sekali gak mencintai gue. Cinta gue... bertepuk sebelah tangan. Tapi, bodohnya, gue masih tetep aja cinta sama dia. Walaupun, dia masih mencintai mantan kekasihnya.” Sambungnya.
Gabriel menundukkan kepalanya. Meresapi apa yang sebenarnya ia rasakan, “Gue suka sama lo, Shilla. Sejak dulu! Gue sayang sama lo. Dan rasa sayang gue terhadap lo ini, lebih dari sekedar rasa sayang kepada sahabatnya. Gue... cinta sama lo, Shill. Gue benci saat lo suka sama Cakka. Gue benci saat lo jadian sama dia. Dan gue benci, karena lo lebih menyayangi dia daripada gue. Gue benci!”
Gabriel menelan salivanya dengan susah, “Tapi apa? Gue pengecut! Gue sama sekali gak bisa ngelakuin apa-apa. Gue gak punya nyali untuk ungkapin perasaan gue ke elo, Shill. Gak bisa...”
“Tapi, walaupun gue tau, lo masih cinta sama Cakka, perasaan gue ke elo gak berubah, Shill. Perasaan itu malah semakin menjadi-jadi seiring berjalannya waktu.  Gue tetep cinta sama lo, Shill. Dan rasa itu gak akan pernah bisa berubah...”
Gabriel menghela nafasnya panjang, “Maaf, karena gue mencintai lo, Shill.” Ucapnya kembali.

Gabriel mulai menekan beberapa tuts piano dihadapannya.
Nada-nada yang diciptakan, mulai terdengar.

“...Kutau kusalah
Memaksa kehendakku
Tuk memilikimu...”
Ternyata, Gabriel telah menyelesaikan lagu ciptaannya. Dan kini, ia menyanyikan lagu tersebut.

“...Kuterluka tanpamu
Sungguh ku tak bisa membenci dirimu
Oh dirimu...”             
“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

**

Shilla menutup bibirnya dengan telapak tangan kananya. Ia masih belum percaya. Sama sekali belum!
Orang yang ada di depan grand piono itu ternyata adalah Gabriel.
Iya! Gabriel, sahabatnya.
Yang tidak bisa Shilla percaya adalah, ungkapan yang Gabriel ucapkan tadi.
Gabriel... mencintainya?
Tapi, kenapa pemuda itu tidak mengatakan hal itu sejak dulu?

“Bodoh! Gabriel bodoh!” ucap Shilla pelan. Dan entah sejak kapan, kini Shilla mengeluarkan air mata.


Shilla menangis semakin keras saat mendengar penggalan lagu yang Gabriel nyanyikan.

“...Menanti keajaiban
Hingga kau buka hatimu
Untuk dirikuuu...”
“...Hanya kisah ini takkan abadi
Namun kau abadi di hati ini...”
“...Meskipun harus menahan sepi
Menanti dirimu di hati...”         

“...Menanti... dirimu di hati...”

“BODOH!!!”

**

Gabriel menghentikan permainannya saat mendengar sebuah suara yang datang dari arah pintu.
Ia membalikkan tubuhnya, dan...
“Shilla...” ucap Gabriel terkejut.

Shilla berjalan menghampiri Gabriel. Matanya sembab. Ia menangis!

“Kamu...”
“Lo bodoh, Yel!!” hardik Shilla. Kini, ia sudah sampai di hadapan Gabriel.
“Gue...”
“Kenapa lo gak bilang dari dulu, sih?!”
“Eh...” Gabriel terhenyak mendengar ucapan Shilla barusan.
“Jadi selama ini lo suka sama gue, Yel? Lo menganggap gue LEBIH dari seorang sahabat? Kenapa.. kenapa lo gak bilang dari dulu, siiih?” Shilla mencoba mengatur nafasnya, yang kini tersenggal. Ia meluapkan emosinya. “Kenapa lo Cuma bisa diam? Dan ngebiarin rasa itu terus tumbuh di dalam hati lo, tanpa sedikitpun lo biarkan rasa itu menyeruak. Lo pendem semuanya!”

Gabriel menundukkan kepalanya. Menatap pada ubin-ubin yang terlihat sama sekali tak menarik saat ini. “Gue emang bodoh, Shill! Tolol! Gue pengecut! Gue sama sekali gak berani buat bilang semuanya sama lo. Gue Cuma berani buat pendem semuanya. Gue emang pengecut, Shill.” Ucap Gabriel. “Lagi pula, buat apa gue ungkapin semua ini, kalo ternyata, gue tau kalau elo gak punya perasaan yang sama ke gue. Percuma, Shill. Percuma.” Ia mendongakkan kepalanya. Menatap gadis  yang berdiri di hadapannya.

“Semuanya gak akan percuma kalau lo bilang ini dari awal.” Ujar Shilla.
Gabriel tersenyum kecut, “Iya. Dan pada akhirnya, sekarang gue udah terlambat.”
“Gak ada yang terlambat.” Potong Shilla.
Mata Gabriel membulat, “Maksud lo?” tanyanya.

Shilla tidak menjawab pertanyaan Gabriel. Ia malah berjalan mendekati kursi yang kini diduduki oleh Gabriel. Dan duduk di dekat pria itu.
Gabriel sendiri, memperhatikan gerak-gerik Shilla.
“Shill...”

Shilla mulai memainkan jemarinya di atas tuts-tuts itu.
Sebenarnya, gadis itu tidak sedang benar-benar memainkan piano itu. Ia hanya menekan asal.

“Ternyata.. laki-laki itu memang susah peka. Susah banget!” ucap Shilla. Matanya masih menatap ke jemarinya yang asik menekan tuts hitam putih itu.
Gabriel masih kebingungan.
“Tuh kan, udah dibilang begitu, masih belum juga peka. Padahal udah dikasih lampu hijau. Dasar cowok! Gak peka! Susah peka! Gak ngertiin perasaan cewek!” ucap Shilla lagi. memancing sih sebenarnya.
Beberapa detik, Gabriel masih sibuk dengan pikirannya. Tuh kan! Dasar gak peka!
Sejurus kemudian, ia mengembangkan senyumnya.

“Shilla..” panggil Gabriel.
Shilla menoleh, “Ya?”
“Gue.. udah lama gue suka sama lo. Gue cinta sama lo, Shill.” Ucap Gabriel.
Seulas senyum terukir dibibir manis Shilla.
Gabriel meraih tangan Shilla. Dan mengenggam tangan gadis itu.

“Would you be my girlfriend, Ashilla?”
DEG!!
Semua wanita pasti merasakan hal ini ketika seorang lelaki menyatakan cinta kepadanya.
Deg-degan gak karuan.
“Lo mau jadi pacar gue, Shill?” tanya Gabriel lagi.
Shilla tersenyum. lalu menganggukkan kepalanya. “Iya. Gue mau, Yel.” Jawabnya.
Senyum Gabriel semakin mengembang. Gabriel kemudian mengecup tangan Shilla.
“Makasih, Shill.” Ucapnya.
Sejurus kemudian, ia membawa gadis itu kedalam pelukannya.
Shilla pun membalas pelukan itu.

“Kamu tau, Yel? Aku merasa beruntung mempunyai kekasih, yaitu sahabatku sendiri.” Ucap Shilla.
“Aku juga, Shill.” Sahut Gabriel. “Seperti yang pernah kamu bilang dulu. Kalau sahabat kita jadi pacar kita...”
“Kita pasti akan merasa beruntung. Karena, sahabat pasti sudah mengetahui seluk beluk kita. Dan dia pasti bisa menerimanya.” Sahut Shilla melanjutkan.
Gabriel tersenyum dibalik punggung Shilla. “I’m lucky, Shill.” Ucap Gabriel.
Shilla tertawa kecil, “I’m too, Gabriel.”

“CIEEEE.....” Gabriel maupun Shilla sama-sama menoleh dan melepaskan pelukannya, saat mendengar sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga mereka.

“Ciee yang udah jadian.” Ucap salah seorang diantara mereka.
“Rio, Sivia, ngapain kalian disini?” tanya Shilla kepada dua orang itu.
“Yang paling harus ditanyain, kenapa Rio bisa ada disini?” sahut Gabriel.
Ternyata, kedua orang itu adalah Rio dan Sivia.

“Gue kan udah bilang, Yel. Gue punya sumber terpercaya disini, dan dia adalah pacar baru gue. Jadi, gue ikut-ikut aja.” Jelas Rio.
“Maksud lo?” Gabriel menatap Rio, kemudian Sivia dengan tidak percaya.
Rio tersenyum lebar dan menyebalkan, “Sivia pacar gue, Yel, Shill.”
“HAH??” Gabriel dan Shilla sama-sama melongo tak percaya.
“Kok lo mau sih, Vi, sama si Rio?” celetuk Shilla.
“Heh, harusnya gue tanya itu sama lo! Kok lo mau sih jadian sama si Gabriel item?” celetuk Rio membalas.
“Sialan lo, Yo!” balas Gabriel.
Sivia sendiri malah geleng-geleng dan tertawa kecil melihat ketiga sahabat itu.

Gabriel kembali membalikkan tubuhnya ke depan piano. Lalu, pemuda itu menekan tuts piano itu.
Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying...
Shilla, Rio, maupun Sivia tersenyum mendengar lagu yang Gabriel nyanyikan. Lalu, Shilla pun melanjutkan lagu itu.
“...Boy I hear you in my dreams..
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard...”

Dan akhirnya, mereka berempat pun bernyanyi bersama. Menikmati keindahan dan kebersamaan diantara mereka.
Ternyata, Cinta kepada sahabat sendiri itu tidak salah bukan?
Malah, lebih beruntung jika kita cinta pada sahabat kita sendiri. Karena, ia pasti bisa menerima keadaan kita. Baik buruknya kita, ia bisa menerima.

“...I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Ooohh ooooh oooh oooh ooh ooh ooh ooh...”

“...They don't know how long it takes
Waiting for a love like this
Everytime we say goodbye
I wish we had one more kiss
I'll wait for you I promise you, I will..”
“..I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Lucky we're in love every way
Lucky to have stayed where we have stayed
Lucky to be coming home someday...

THE END!!

**

Akhirnyaaaa selesai juga :D
Terima kasih buat yang udah baca cerita ini. Aylopyusomac yaa:*
Maaf kalo endingnya aneh. Pokoknya gak banget. Saya belum jadi penulis professional. *doainajabiarjadiprofesional.hiihi*

DON’T COPAS THIS STORY!! Okey? :)
DON’T BE SILENT READER! LEAVE A COMMENT AND LIKE, Please!

Thanks..
@murfinurh_

Lucky!! #cerpen 3/4

Ini lanjutannyaaaaa!!! :D
Saya sangat minta maaf jika ada pihak yang tersinggung dan merasa dirugikan (?) karena cerita saya ini. Cerita ini aseli hanya fiktif belaka, semata-mata karena pikiran saya. Maaf saya buat Cakka disini jadi rada... you know lah yaa..
I’m sorry maaf punten :)


PART 3 of 4
.
.


Keesokan harinya..

Seperti biasa, Jum’at ini, bel pulang berbunyi lebih cepat daripada hari biasanya.
Maklum lah, setiap hari Jum’at, laki-laki yang beragama Islam di anjurkan lebih-tepatnya-di-wajibkan untuk mengikuti Sholat Jum’at. Jadi, yaaa sekolah bubar lebih cepat.

Gabriel sendiri, memilih berdiam diri di ruang OSIS sembari mengetik beberapa tugas yang harus di selesaikannya.
Gabriel tidak..? ya, jelas tidak. –you-know-lah-Gabriel-itu-non-Islam-.

Eh, tunggu! Sepertinya Gabriel melihat Shilla. Sendirian? Kok.. sendirian? Mana si Cakka?
Gabriel mengangkat bahunya tak acuh.
“Tau ah..” ucapnya masa bodo.
Ah, sudahlah.. Gabriel empet juga karena seharian ini melihat Shilla begitu mesra dengan Cakka dikelas.
Sumpaaah..

*

Gabriel melirik jam tangan sporty yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Pukul 13.30.
Ia baru pulang hari ini. Dan sialnya, jalanan macet! Oh.. menjengkelkan!
Gabriel melirik kanan-kirinya. Mobil-mobil lain juga masih berusaha menyelip di antara mobil lainnya (seperti yang ia lakukan juga).
Namanya juga Jakarta. Bukan Jakarta kalo tidak macet seperti ini. Oh, macetnya Jekardaah..

Gabriel melihat sesuatu di antar mobil-mobil itu.
Bukan, Bukan! Ternyata mata Gabriel tertuju pada taman kota yang ada tak jauh dari tempatnya ini.

“Itu.. Cakka, kan?” Gabriel menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas.
“Iya, itu Cakka!” serunya sambil memukul setirnya. “Tapi kok dia, sama.. cewek? HAH?” Gabriel melotot kaget.
“Gak! Gak bisa dibiarin ini!”

Gabriel buru-buru mengemudikan mobilnya ke pinggir saat melihat ada tempat kosong. Ia menghentikan dan memarkir mobilnya disana.
Masa bodoh jika jalanan semakin macet karena ulahnya itu. Yang terpenting adalah, ia harus mendatangi Cakka!

“Liat aja, lo, Cakk! Gue bikin acar lo, nanti!”

*

TOK! TOK! TOK!
Gabriel mengetuk pintu depan rumah Shilla cukup keras.
Saking terburu-burunya, ia sampai lupa kalau sebenarnya rumah Shilla dilengkapi dengan bell. Bukankah memencet bell lebih mudah dibandingkan dengan mengetuk pintu sekeras mungkin seperti itu?

“Shillaaaaa!!!” teriak Gabriel tak henti-hentinya.

KREK!
Tiba-tiba, pintu terbuka. Dan kepala si mbok menyembul di balik pintu.

“Den Gabriel? Ada apa kemari?” tanya si mbok.
“Shilla ada, Mbok?” tanya Gabriel, to the point.
“Wah, non Shilla belum pulang, den. Tadi pak supirnya gak bisa jemput non Shilla. Jadi, si non mau pulang naik Taksi katanya.” Jelas si mbok panjang lebar.
Tanpa menunggu lama, Gabriel langsung berlari menuju motornya yang ia parkir di halaman depan rumah Shilla.

“Tin..Tin..”
Baru saja Gabriel akan memakai helmnya, terdengar suara klakson dari depan gerbang.
Gabriel melirik ke arah gerbang itu. Sebuah mobil berwarna biru yang tidak lain adalah sebuah Taksi, berhenti disana.
Merasa kelamaan menunggu pak Satpam membukakan pintu, akhirnya penumpang mobil itu keluar lebih dulu.
Gabriel yang sudah lebih dulu tau siapa penumpang taksi itu, buru-buru menghampirinya.

“Shilla..” Panggilnya.
Shilla sedikit terkejut dengan kedatangan Gabriel dirumahnya.
“Ada apa?” tanya Shilla. Sedingin mungkin.
Gabriel melengos mendengar nada bicara Shilla. “Ayo ikut gue!” titah Gabriel seraya menarik paksa pergelangan tangan Shilla.
“Ish, lepasin!” Shilla langsung menepis tangan kekar Gabriel dari pergelangan tangannya. “Ngapain sih, lo?”
“Gue mau buktiin sama lo, kalo Cakka itu bukan cowok yang baik.” Ucap Gabriel.
“Omong kosong! Berkali-kali lo bilang begitu sama gue. Tapi apa? Semua Cuma akal-akalan lo doang kan?” sahut Shilla seakan tak perduli.
Gabriel menggeleng. “Tapi gue serius, Shill! Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Cakka selingkuh!”
“BOHONG!!” todong Shilla cepat. “Kamu jahat, Yel! Jahat! Kamu gak seneng ya, ngeliat aku seneng? Iya, hah? sahabat macam apa kamu? Kamu malah memperkeruh suasana. Kamu bikin aku... aku... ngerasa gak percaya lagi sama kamu, Yel.” Sambung Shilla, yang kini mulai bisa meredam emosinya.
Gabriel terdiam. Ingin sekali ia berkata ia. IYA, kalau dia gak senang melihat Shilla senang bersama orang lain! Tapi.. ia tidak bermaksud membuat persahabatan mereka hancur. Ia hanya ingin Shilla tidak merasakan rasa sakit yang sangat sakit jika melihat Cakka berselingkuh dengan mata kepalanya sendiri.
“Shill, aku Cuma...”
“Cuma apa?” potong Shilla cepat. “Udahlah, Yel. Aku capek! Dan kamu. Kamu gak usah urusin hidup aku lagi! gak usah ikut campur lagi!” ujar Shilla yang langsung membuat Gabriel tertohok.
Shilla menghela nafasnya. “Permisi!” tegas Shilla seraya mulai melangkahkan kakinya.
“Jangan salahkan aku, kalau itu beneran terjadi, Shill. Aku udah memperingatkan kamu. Walaupun, kamu gak mau dengerin.” Ucap Gabriel tanpa membalikkan tubuhnya untuk menatap Shilla.
Shilla sendiri menghentikan langkahnya sesaat. “Terserah..” jawabnya. Dan kembali melangkahkan kakinya.

Gabriel menghela nafasnya kembali.
Oke. Sahabatnya, sudah tidak mempercayai dirinya. Dan malah mempercayai kekasihnya, yang padahal belum lama ia kenal.
Gabriel sudah tidak berharga dalam hidup Shilla. Secara tidak langsung, Shilla menginginkan Gabriel untuk pergi jauh-jauh dari hidup gadis itu.
Okey. Gabriel akan melakukannya.
Kalau perlu, pindah sekolah pun Gabriel bersedia. Sayangnya, Gabriel tidak yakin dengan hal itu.

“Gue akan lakuin itu, Shill. Gue akan menjauhi lo. Dan gak akan mengusik lo kok. Tapi, lo harus tau, kalau semua yang gue omongin itu benar adanya, Shill.” Ucap Gabriel.

**

Gabriel memetik gitarnya. Lalu menuliskan angka-angka dan not balok pada sebuah kertas.
“Hanya...” ia kembali memetik gitarnya. Dan kembali menuliskan not angka serta not balok pada kertas tadi.
Ceritanya sih, dia sedang membuat sebuah lagu. Lagu apa? Lihat saja nanti.
Gabriel menggigit ujung pensilnya. Merasa kebingungan untuk kata-kata setelah ‘Hanya’ tadi.

“HOIII!!!”
“GILAK!!”
“HAHAHA...”
Gabriel sangat terkejut dengan kedatangan Rio yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.
“Ngagetin aja lo! Kalo mau masuk, ketuk pintu dulu dong!” Sahut Gabriel.
“Hehe..” Rio nyengir garing. Dan langsung mengambil tempat di tempat tidur Gabriel.
Mata Rio tertuju pada sebuah kertas yang berada di meja belajar dihadapan Gabriel saat ini.
Rio buru-buru mengambil kertas itu, “Kertas apa nih, Yel?” tanyanya.
Gabriel membelalak saat matanya mendapati kertas itu berada di tangan Rio.
“Sini, balikin!” ujar Gabriel dengan mengambil alih paksa kertas itu.
“Ciee.. lagi bikin lagu, ya, Yel?” tanya Rio menggoda.
“Sok tau!” jawab Gabriel.
“Ciee.. buat Shilla, ya, Yel?” tanya Rio lagi.
“Diem deh, lo! Mau ngapain lo kesini?” tanya Gabriel gak nyantai banget.
“Santai dong, Yel. Gue Cuma mau ngingetin lo doang.” Jawab Rio.
“Ngingetin apa?”
Rio menunjuk sesuatu menggunakan dagunya.
Mata Gabriel mengikuti arah yang ditunjuk oleh Rio tadi.
Kalender?
Gabriel terdiam sebentar. Oh. Iya. Gabriel ingat.
Hari ini hari Sabtu. Malam minggu lebih tepatnya. Dan Rio, cowok itu mau jalan ber-du-a sama Shilla.
“Kenapa Shilla milih perginya malem sih, Yo?” tanya Gabriel yang sudah mengerti dengan maksud Rio.
“Ya, mana gue tau. Mungkin, Shilla pengen malem mingguan sama gue. Hehehe..” jawab Rio yang langsung mendapat toyoran gratis dari Gabriel.
“Aduh. Tenang aja, Yel, gue gak bakal nikung lo, kok.” Ucap Rio.
“Awas aja kalo lo bohong.” Balas Gabriel.
“Iyalah. Lagian, gue udah punya pacar baru tauk!” jawab Rio menyombongkan diri.
“Preett!” respons Gabriel.
“Pratt preet pratt preet lo! Gue serius.” Bela Rio.
“Lha, paling-paling sama cewek jelek. Soalnya kan lo jelek. Jadi, gak mungkin ada cewek cakep yang mau sama lo.” Gabriel memeletkan lidahnya.
“Sial! Gue ganteng begini dibilang jelek. Ada juga elo yang jelek. Buktinya, lo gak pernah punya pacar kan?”
GLEKK!! Benar juga kata Rio.
“Ah, udah lah. BTW, katanya seharian ini lo ngejauh dari Shilla, ya? Dan gak perduli apapun yang terjadi sama Shilla seharian ini di sekolah?”
Gabriel mengerutkan alisnya. Darimana Rio bisa tau hal itu?
“Sekalipun... Shilla masuk UKS pas mimisan tadi siang?” sambung Rio kembali.
“Dari mana lo tau, Yo?” tanya Gabriel.
Rio tersenyum lebar. “Gue kan punya sumber Informasi terpercaya.” Jawabnya.
Gabriel menggeleng pelan. Tak mengerti dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Susah di tebak.
“Udah ah, gue mau cabut dulu. Gue kan mau jalan-jalan BER-DU-A sama Shilla.” Ucap Rio dengan menekankan beberapa kata.
“Terserah lo lah.” Tanggap Gabriel dengan malas.
Rio tertawa pelan seraya beranjak dari duduknya.
“Eh, Yel, kok gue ngerasa malam ini akan terjadi sesuatu hal yang tak terduga, ya?” sahut Rio sebelum keluar dari kamar Gabriel.
“Ngomong pake bahasa apa sih, lo?”
“Hehe.. Cuma firasat, sih.” Kok jawaban Rio gak nyambung sih?

**

“Duh, Yo, gue bingung nih mau beli hadiah apa.” Ucap Shilla.
Shilla dan Rio sudah berkali-kali memutar-mutar mall ini. Tapi, Shilla belum juga merasa ada yang cocok untuk ia beli.
Sebenarnya, Rio ingin memberikan saran untuk hadiah yang akan Shilla berikan pada Cakka.
Rio ingin bilang, ‘Shill, ke toko mainan aja, yuk! Disana kana da pistol-pistolan tuh. Beliin itu aja buat Cakka. Sebenernya sih, gue pengennya beliin pistol beneran buat Cakka.’ Tapi, niatnya untuk bicara seperti itu buru-buru ia urungkan.
Tapi beneran deh, Rio pengen beli pistol di toko mainan itu. Biarpun Cuma pistol mainan, tapi kan lumayan, ada pelurunya. Ya walaupun pelurunya juga, peluru mainan, tapi kan kalau terkena tubuh sakit juga.
Tapi, Rio sih pengennya pistol beneran aja sekalian. Biar si Cakka tertembak dan rubuh seketika. Kalau bisa sih, ia pengen beli Dynamite aja sekalian. Biar hancur lebur seketika. Hihihi..
Jahat banget.

“Yang menurut lo cocok aja buat si Cakka, Shill.” Ujar Rio. “Yang cocok seperti pistol atau granat misalnya.” Sambung Rio dalam hati.
“Iya. Tapi gue gak tau apaan.” Jawab Shilla.
Shilla menghentikan langkahnya, tepat didepan sebuah toko peralatan Olahraga.
Matanya tiba-tiba berbinar saat melihat sebuah benda yang ada di dalam toko itu.

“Gue tau, gue mau beliin Cakka apa.” Ucap Shilla pada Rio.
Rio tidak begitu penasaran dengan apa yang Shilla maksud, tapi.. “Beli apa?” tanyanya.
“Ayo ikut!” ujar Shilla seraya menarik pergelangan tangan Rio, dan menuntunnya untuk masuk ke dalam Toko itu.

**

Rio terus mengumpat hingga kini ia dan Shilla sudah berada di depan kasir.
Rio mengumpat sendiri karena Shilla memberikan sebuah benda yang tak pernah gadis itu berikan kepadanya atau kepada Gabriel sekalipun.
Benda bulat berwarna Orange itu kini sudah diberikan pada Shilla oleh mbak-mbak kasir. Dan benda itu sudah menjadi milik Shilla. Saat ini.
“Cakka pasti suka bola ini. Dia kan suka banget main basket.” Ucap Shilla seraya berjalan keluar dari Toko itu.
“Gue sama Gabriel juga suka banget main basket, Shill.” Sahut Rio. Menyindir sih sebenarnya.
Iri? Iya! Jujur saja Rio iri. Seumur-umur, Shilla belum pernah membelikan bola Basket padanya ataupun Gabriel. Padahal kan, gadis it utu sendiri kalau kedua sahabatanya menyukai olahraga itu.
Entah Shilla tak mendengar ucapan Rio atau bagaimana, gadis itu malah terus memperhatikan kantung plastic yang berisi benda-bulat-orange itu.
“Oh, ya, Shill, kita mau kemana lagi, nih?” tanya Rio.
“Gimana kalau.. main di TimeZone?” ujar Shilla.
Rio berfikir sejenak. “Enggak deh, enggak. Mending kita ke café aja. Gue laper, nih.” Jawab Rio.
“Yaudah.” Balas Shilla.
Meraka berdua pun berjalan menuju sebuah café yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Sesampainya di café tersebut, Shilla dan Rio sama-sama mencari tempat yang nyaman.
“Disana aja, Yo.” Shilla menunjuk sebuah meja yang berada dekat dengan jendela.
Rio sih ngikut-ikut saja. Yang penting makan!

Rio yang lebih dulu duduk di salah satu kursi di meja itu.
Shilla tiba-tiba menghentikan langkahnya sebelum sampai di meja tujuannya tadi.

“Cak-ka..” Ucapnya tertahan.
Alis Rio naik sebelah. Sejurus kemudian, ia mengikuti arah pandang Shilla.

“Cakka..” Shilla mengulang ucapannya kembali.
Rio sendiri sudah mengepal tangannya kuat-kuat.
“Kurang ajar!” umpatnya.
Rio kembali menoleh pada Shilla. Tubuh gadis itu kini terlihat bergetar. Tangannya masih memeluk erat benda orange didalam kantungnya.
Shilla merasakan perih pada matanya saat melihat Cakka, sang Ke-ka-sih, kini sedang duduk manis bersama seorang wanita. Mereka terlihat sangat akrab dan... mesra.

“Gue harus kasih dia pelajaran!” Rio bangkit berdiri dari duduknya.

Shilla tetap berdiri pada posisinya. Pipinya kini sudah basah dengan air matanya yang entah sejak kapan sudah keluar. Ia tak peduli dengan ucapan Rio barusan.

**

Gabriel merapatkan topinya. Menyembunyikan wajahnya dari sekitar.
Lalu, ia berjalan ke sebuah meja yang tidak jauh dari meja tujuan kedua sahabatnya. Shilla dan Rio.
Ya. Sebenarnya, sejak tadi Gabriel mengikuti Shilla dan Rio selama di mall ini.
Rencananya untuk menjauhi Shilla ternyata tidak dapat ia lakukan. ia tidak bisa melakukan itu. Tidak.
Oh ya, Ia juga tahu kalau Shilla membelikan sebuah bola basket untuk ‘kekasihnya’ itu. Sama seperti Rio. Ia juga merasa kesal.
Oh ya, jangan tanya mengapa Gabriel menggunakan topi untuk menutupi wajahnya. Dia kan lagi nguntil (?) hehehe..

“Cakka..”
“Kurang ajar!”
Gabriel menoleh cepat saat mendengar suara Shilla yang diikuti oleh Rio terdengar olehnya.
Gabriel mengikuti arah pandang Shilla dan Rio.
“Sh*t!!” umpat Gabriel.

Gabriel melihat Rio mengepal tangannya kuat-kuat. Lalu, sahabatnya itu berjalan menghampiri meja ‘sepasang kekasih’ yang berada tak jauh dari meja mereka.

“Gue harus bantu Rio!” Tegas Gabriel. Dan pemuda itupun ikut bangkit dari tempatnya.

**

BRAKK!!
“Heh! Apa-apaan lo, Cakk?!” Rio menggebrak meja Cakka. Cakka langsung beringsut karena kaget.
“Ngapain lo disini?” tanya Cakka sengit. Tangannya masih menggenggam kuat tangan kekasihnya. Oh mungkin.. ‘selingkuhannya’.

Rio langsung menarik kerah baju Cakka. Dan mencengkramnya dengan kuat.
“Harusnya gue yang tanya itu sama lo! NGAPAIN LO DISINI, HAH? SELINGKUH? IYA? Biad*b!!” BUG!! Rio langsung melayangkan tinjunya tepat ke wajah Cakka.
“Apaan sih lo, Yo? dateng-dateng langsung nonjok gue begini! Segala nuduh gue selingkuh! Selingkuh apa? Orang sinting memang lo!” balas Cakka.
Wadezig!!!
Cakka merasakan wajahnya sakit kembali. Ia ditonjok kembali oleh... bukan! Bukan Rio yang menonjoknya.
“Apa lo bilang? Rio nuduh lo selingkuh? Nuduh? Iya, hah?! ini namanya bukan nuduh! Tapi fakta!”
Cakka memicingkan matanya. Lalu tersenyum remeh. “Tuan Gabriel juga ada disini ternyata. Lo berdua mau nyerang gue abis-abisan?”
“Nyerang?” Sahut Rio. Sebenarnya tadi ia sempat kaget dengan kedatangan Gabriel yang tiba-tiba seperti itu. Tapi sudahlah. “Kita bukan tipe orang yang suka tawuran, bro!” sambungnya.
“HAHA bisa ngelawak juga lo ternyata.” Sahut Cakka yang membuat mata Rio membulat.
“Ah, banyak cingcong lo berdua!” BUG!!! Gabriel kembali menonjok Cakka. Acara pun dimulai kembali setelah iklan cingcong tadi.
“LO udah ngehianatin sahabat gue! Lo udah bikin dia sakit hati!” BUG!! Rio ikut menonjok Cakka dengan keras.
“LO...!” Gabriel menunjuk wajah Cakka dengan penuh amarah.

BUG!!!

“Aww!!”
“SHILLA!!!”

Ups! Gabriel… salah sasaran!

Shilla memegangi pipinya yang –tidak sengaja- ditonjok Gabriel. Usahanya untuk ‘membela Cakka’ ternyata hanya membuat dirinya terluka.
“Berhenti, Yel, Yo!” ucap Shilla dengan tegas. Tangannya masih memegangi pipinya yang terasa memar.
“Shill, Ma..” Shilla langsung menepis kasar tangan Gabriel yang sudah terulur untuk memegang pipinya.
Shilla menatap tajam pada Gabriel, lalu berbalik pada Cakka. Ia tersenyum dengan penuh paksa pada pemuda itu.

“Puas lo, Kka? PUAS, HAH? Jadi, semua yang temen gue omongin itu bener? Lo Cuma mau mainin gue doang? IYA?” Kata Shilla penuh penekanan.
Cakka terdiam.
“JAWAB, KKA! JAWAB!” Shilla mendorong kasar tubuh Cakka.
Shilla terisak pelan. “Kita putus! Gue benci sama lo. BENCI!!!” Shilla langsung membalikkan tubuhnya. dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu, yang kini ramai karena mereka.

Gabriel menatap Cakka penuh amarah. Lalu berbalik kea rah cewek tadi –yang kini hanya berdiri tak jauh dari mereka- yang baru ia sadari bahwa itu adalah Dea, kakak kelasnya.
Gabriel tak ingin lama-lama berada disini. Ia langsung mengambil langkah keluar dari tempat ini.

“Gue masih belum puas, Cakk.” sahut Rio tiba-tiba. Matanya menatap tajam setajam elang, pada Cakka.

BUG!!!
Dan satu tonjokkan melayang kembali ke wajah tampan Cakka.

**
TBC
**

Thanks buat yang udah mau baca :)
DON'T BE SILENT READER! PLEASE, LEAVE A COMMENT AND LIKE!
tengkyuuu {}

@murfinurh_

Lucky!! #cerpen 2/4

Ini lanjutannya… semoga suka ya;)
Maaf ceritanya gaje bin aneh


PART 2 of 4
.
.
.

Setelah melihat sms dari Shilla tadi siang, Gabriel langsung saja berlari pulang ke rumahnya yang berada di seberang rumah Rio. Rio sendiri ingin menahan Gabriel untuk tidak pulang dulu. Ada sesuatu yang harus Rio katakana pada Gabriel. Dan itu penting! Tapi sayang, Gabriel terlanjur berlari dan tak memperdulikan Rio.

Gabriel mengurung diri di kamar. Ia merutuki dirinya sendiri, yang bodoh karena tidak memanfaatkan waktu dari dulu.
“Bodoh!” cercanya.

Handphonenya berdering. Dan saat itu pula, terlihat wajah seorang gadis cantik di layar handphonenya itu.

Shillaaaaa’s calling

Gabriel membanting handphonenya. Sama sekali tak berminat menjawab telfon dari gadis itu. Terlanjur sakit hati.

*

Gabriel melongo parah melihat Shilla yang baru saja datang dan memasuki kelas.
Shilla. Bersama. Cakka. Bergandengan.
Gabriel geleng-geleng kepala melihat pemandangan itu. Apalagi mendengar Shilla yang tertawa renyah dengan Cakka. Dia semakin… cemburu?

“Pagi, Yel.” Sapa Shilla setelah sampai di mejanya. Di sebelahnya, ada Cakka yang tetap dengan tampang sok’ nya itu.
Gabriel tersenyum canggung. “Pagi, Shill.” Jawabnya.
Shilla balas tersenyum, lalu menyimpan tas selempangnya di kursi samping Gabriel. Setelah itu, Shilla meninggalkan kelas bersama Cakka. IYA! SAMA CAKKA!
Tapi, sebelum mereka pergi, Gabriel melihat wajah Cakka yang menyeringai dan tersenyum... meremehkan ke arahnya? Kenapa tuh anak?

*

“Shill..” panggil Gabriel dengan suara yang pelan. Maklum. Di depan sedang ada pak Duta yang sedang mengajar.
Shilla yang sedang memperhatikan penjelasan dari Pak Duta, beralih menatap Gabriel. “Ya?”
Gabriel tiba-tiba terlihat bingung. “em.. aduh, gimana, ya?” ucap Gabriel kebingungan sendiri.
“kenapa, Yel?”
“Emm.. Sori, Shill. Gue..”

“GABRIEL! SHILLA! Jangan mengobrol saat saya sedang berbicara di depan! Lebih baik kalian diam dan perhatikan apa yang saya jelaskan!” Pak Duta tiba-tiba menyerocos di depan saat melihat Shilla dan Gabriel yang sedang mengobrol itu.
“Mengerti?!” tambah pak Duta.
Gabriel dan Shilla buru-buru mengangguk, “Ba-baik, Pa.”
Dan akhirnya, Gabriel gagal mengatakan tentang hal ‘itu’ pada Shilla.

*

“Gabriel..” panggil Shilla.
Gabriel yang sedang membereskan buku-bukunya ke dalam ransel hitamnya itu, menoleh pada gadis yang duduk di sebelahnya, “Ada apa, Shill?” tanya Gabriel.
“Hari ini gue bareng lo, ya?” pinta Shilla.
Gabriel tersenyum lebar. Dalam hatinya, ia bersorak-sorak gembira. “Tentu saja. Kenapa engga?” jawab Gabriel diiringi senyum manisnya.
Shilla membalas senyuman itu.
“Emang Cakka kemana Shilla?” tanya Gabriel yang kini sudah mulai berjalan keluar kelas bersama Shilla.
Air muka Shilla tiba-tiba berubah seketika. “Katanya, sih, dia mau nganter Mamanya belanja.” Jawabnya.
Gabriel mengangkat bahunya, tak yakin pada cowok itu. “Yaudahlah, yuk kita capcus.”
Shilla tertawa geli, “Apaan sih, lo? Kayak banci aja deh..”
“Woo.. enak aja lo!” Gabriel langsung mencubit  hidung Shilla sampai hidungnya merah.
“duuh.. sakit!” Shilla mengucek-ngucek hidungnya itu.
Gabriel hanya geleng-geleng kepala.
“Silahkan masuk, tuan Putri..” Gabriel membukakan pintu mobil bagian penumpang untuk Shilla.
Shilla masih belum percaya kalau sekarang sudah sampai parkiran. Oke, ini lebay.

Gabriel mulai meng-gas mobilnya saat ia dan Shilla sudah siap di tempat. Dan melaju meninggalkan Sekolah.

“Yel,” panggil Shilla.
Gabriel menoleh sebentar lalu mengedikkan dagunya; apa?
“Lo tau ga, gue seneeeeeng banget bisa pacaran sama Cakka.”

DEG! GLEK!
Gabriel melotot kaget namun tetap menyembunyikan ke terkejutannya itu dari Shilla.
“K-k-kok bisa?” OH NO! ucapan Gabriel terdengar konyol di telinganya sendiri.
Suaranya terdengar... bergetar mungkin?

“Iya, jadi gini lho, masa ya, waktu tadi pagi pas dia jemput gue dirumah, dia kasih surprise gitu buat gue. So sweet bangeeet deh. Jadi tadi tuh…...”
HEY! Siapapun yang punya penyumbat telinga, gue pinjem! Penyumbat telinga, ya! Jangan penyumbat WC! Gue butuh banget! Butuh penyumbat telinga! Bukan penyumbat WC! Gak siap nih dengerin cerita Shilla tentang si landak jelek itu!, Gabriel mengoceh sendiri dalam hatinya.
Dan sebenarnya tidak ingin mendengar cerita Shilla itu. Semoga Gabriel berhasil! Walaupun ia rasa, itu memang tidak sopan sih..

*

Suatu sore, Gabriel menemui Shilla di taman. Biasanya, Shilla selalu ada di taman setiap pukul 17.00 sore di hari sabtu seperti ini.

“Shillaaa…” benar kan. Shilla ada di taman. Sedang bermain dengan laptopnya. What the? Dengan laptop? Oke, bisa jadi.

Shilla menoleh pada sumber suara yang terdengar familiar di telinganya itu. “Eh, elo, Yel.” Ucapnya seraya tersenyum menyambut sahabatnya itu.
Gabriel langsung saja duduk di samping Shilla. Di atas rerumputan hijau yang terlihat indah itu.
“Lagi apa?” tanya Gabriel. Basa basi.
“Biasa.” Shilla memperlihatkan layar laptopnya pada Gabriel. Oh. Seperti biasa. Shilla sedang menulis cerita.
Gabriel hanya membulatkan mulutnya seraya mengangguk-angguk.
“Shilla, gue boleh tanya sesuatu?” tanya Gabriel. Lebih tepatnya meminta izin, mungkin?
Shilla mengacungkan jempol tangan kanannya. Mengisyaratkan ‘iya’.

“Menurut lo.. ‘Sahabat jadi Cinta’ tuh, apasih?” tanya Gabriel. Iseng aja sih sebenernya.
Shilla menghentikan jari tangannya yang bergerak cepat di atas keyboard laptopnya.

“Ummm….” Shilla mengetuk-ketukan jari telunjuknya di dagu. Berpikir seperti orang dewasa.
“Menurut gue, Sahabat Jadi Cinta itu.. Spesial. Dan beruntung.” Jawab Shilla dan tersenyum. merasa puas akan jawabannya.
Gabriel sendiri mengerutkan keningnya, “Kenapa? Can you tell me?” tanyanya.
Shilla menghela nafasnya, “Soalnya, kalau Sahabat itu, pasti udah tau seluk beluk dan baik buruknya diri kita. Kalau sahabat kita sendiri yang mencintai kita, berarti dia bisa terima dong walaupun kita punya kekurangan. Ya, misalnya gini. Gue itu punya sifat bawel yang berlebihan, walaupun itu memang bener. Hehe.. terus..”
“Terus?” Gabriel menyahut. Merasa asik dengan obrolannya.
“Hehe.. terus, diantara elo atau Rio itu naksir gue. Haha.. cieee..”
Gabriel sadar tak sadar kedua ujung bibirnya tertarik keatas. Mengembangkan senyuman manis sekaligus.. emm.. senang. Hihi.

“terus, kalau beneran sahabat lo sendiri suka sama lo gimana?” tanya Gabriel. Lho? Gabriel tanya apa tadi? Haduuhh..
Shilla menggeleng pelan sembari tertawa kecil. “Gak tau. Tapi, gue kan udah punya Cakka.”
GLEK! Sekali lagi, Gabriel susah menelan salivanya!

“Emanya, lo gak minat buat putus dari Cakka? Dan cari cowok lain yang lebih baik dari dia?”
“WHAT?!!!”
Shilla melongo parah. Begitupun dengan Gabriel yang tak sadar telah mengucapkan pertanyaan konyol seperti itu.

*

Hari terus berganti dan berganti. Tak terasa, sudah hampir dua minggu Shilla berpacaran dengan Cakka.
Sudah dua minggu Shilla selalu bermesraan dengan Cakka. Itu membuat Gabriel sangat muak!
Sudah dua minggu Gabriel merasa sangat sangaaaaat sakit hati dan cemburu. Dan sudah dua minggu pula, Gabriel di acuhkan Shilla.
Dan dua minggu itu pula, Shilla tidak pernah menghubungi Gabriel, dan tidak menanggapi cowok itu.

Disisi lain, Rio, selaku penengah diantara dua sahabatnya itu, sedang berusaha menjelaskan sesuatu pada Gabriel. Sekali lagi, PENTING!

Rio menghempaskan tubuhnya di atas bed milik Gabriel. Gabriel menautkan alisnya. Tumben nih anak grasa-grusu banget pas datang ke rumahnya?
Tanpa basa-basi, Gabriel langsung bertanya maksud kedatangan sobatnya itu.
“ada, apa, Yo?” tanya Gabriel.
Rio bangkit, lalu turun dari bed dan duduk di atas karpet yang tergelar di lantai dekat tempat tidur. Gabriel pun ikut duduk bersama Rio.
“gue to the point aja, ya.” Ucap Rio. “ada sesuatu yang harus Lo, dan Shilla ketahui.” Sambung Rio. Serius.
“apaan?” tanya Gabriel yang sepertinya sudah penasaran.
“tentang Cakka.” Gabriel semakin mengerutkan kening. Ada apa dengan cowok itu? Rio.. tau sesuatu hal?
“dia itu bukan cowok yang baik, Yel! Dia licik!” ucap Rio. Setengah mati menahan amarahnya.
Gabriel membulatkan matanya. “dari.. dari mana lo tau, Yo?”
Rio tersenyum getir. “dia dulu satu sekolah sama gue, sebelum akhirnya pindah ke sekolah lo.” Jawab Rio.
Oh, astaga! Gabriel lupa. Saat Cakka memperkenalkan diri, Cakka kan juga menyebut asal sekolahnya. Tapi, kenapa Gabriel lupa kalau itu adalah sekolah Rio?
“kenapa lo bilang dia licik, Yo?” tanya Gabriel akhirnya. Sebenarnya, Gabriel juga merasakan hal yang sama. Eh, hal yang sama apaan? Cinta sama Rio? Lho.. ngelantur deh gue!

Rio menghela nafasnya berat. “lo tau gak, apa penyebab hancurnya hubungan gue sama Ify, dulu?” tanya Rio.
Gabriel mengangguk. “karena Ify direbut cowok lain ‘kan?”
Rio mengangguk lemah, “dan pelakunya adalah Cakka, Yel.”
Gabriel melongo. Menatap tak percaya pada sahabatnya itu.
“Cakka itu Playboy! Dia bakal ngelakuin apa aja buat cewek yang dia inginkan, walaupun cewek itu milik orang lain. Dan biasanya, kalo dia udah dapetin tuh cewek orang, beberapa hari kemudian, dia bakal ngelepas cewek itu dengan tidak sewajarnya.” Rio menarik nafasnya sebentar. “seperti saat dia ngerebut paksa Ify dari gue. Gue tau, Ify sebenernya gak mau. Tapi, si Cakka berengs*k itu maksa. Tapi, lusanya, setelah Ify direbut, dia tiba-tiba mutusin Ify dan mencampakkan Ify. Berengs*k memang!” ucap Rio ber-api-api.
Gabriel menggeleng-geleng. Se tega itu kah seorang Cakka?. “tapi, Shilla kok masih bertahan sama dia, ya? Udah dua minggu.” Ucap Gabriel.
“cewek yang single, sama cewek yang milik orang lain, beda urusannya, Yel. Kalo untuk cewek yang single seperti Shilla, biasanya dia memang berhubungan lama. Tapi, di belakang dia berkeliaran dengan cewek lain.”
Mata Gabriel kontan membulat. “kurang ajar!” umpatnya.
“gue gak mau sampe Shilla ngalamin sakit hati karena cowok itu!”
“gue juga, Yel. sebaiknya, kita harus buat Shilla putus sama Cakka, Yel!” tegas Rio.
Gabriel mengangguk. “Dari awal gue juga udah yakin kalo Cakka bukan cowok yang baik.” Iel terdiam sebentar, “tapi, Yo, pas gue bilang itu sama Shilla, keburu ketahuan pak Duta kalau gue ngobrol.” Jelas Gabriel.
“Sial!” umpat Rio. “pokoknya, gimanapun caranya, kita harus bikin Shilla sama Cakka pisah, Yel.” Desak Rio.
“gue aja, Yo. Lo gak perlu ikut andil dalam masalah ini.” Tegas Gabriel.
“lho? Gue kan juga sahabatnya, Yel!” bela Rio merasa tersingkir.
“setidaknya, kalau Shilla marah sama gue, dia masih punya lo, dan bisa percaya sama lo.” Jelas Gabriel.
Akhirnya, Rio mengangguk juga. “yaudah, gue juga bakal bantu doa aja, deh.” Ucap Rio diiringi cengirannya.
“sial, lo!” sahut Gabriel dan akhirnya tertawa bersama Rio.

*

Hari ini, Gabriel akan mulai menjalankan rencananya.
Gabriel berdiri di ambang pintu kelas, menunggu kedatangan Shilla –yang pastinya datang bersama Cakka.
Benar saja, beberapa menit kemudian, gadis itu sudah datang dan berjalan menuju kelas bersama Cakka di sampingnya.

“Shilla..” Gabriel menarik pergelangan tangan Shilla. Gadis itu mendelik sebal.
“Apa?” tanyanya dingin.
Gabriel jadi gugup sendiri saat seperti ini, “Umm.. Gue mau ngomong. Sebentar.” Ucapnya.
Cakka menaikan sebelah alisnya, menatap Gabriel dengan –gaya-sok-nya-lagi.
“Berdua.” Tambah Gabriel seakan menjelaskan pada Cakka bahwa ia hanya ingin bicara empat mata dengan Shilla.

Gabriel langsung menggenggam dan menarik tangan Shilla dan membawa Shilla –secara paksa- ke taman.
Shilla sendiri merasa pasrah saja.
Ya. Tapi ia tak dapat berbohong kalau dia merindukan lelaki di hadapannya ini. Dan ia juga... merindukan genggaman itu.

*

“Ada apa, sih?” tanya Shilla setelah ia dan Gabriel duduk di sebuah kursi di taman sekolahnya.
“Apa lo.. Apa lo bener-bener mencintai Cakka, Shill?” tanya Gabriel to the point.
Shilla menautkan kedua alisnya, bingung. “Untuk apa tanyain itu? Jelas-jelas jawabannya IYA.” Jawab Shilla dengan penuh penekanan.
Gabriel hanya mengangguk-ngangguk, “Walaupun Cakka itu bukan cowok yang baik, apa lo tetep hanya cinta sama dia?” tanyanya lagi.
Shilla mendelik, “Ck! Lo kenapa sih, Yel? Selalu bilang kalau Cakka itu cowok yang gak baik? Lo gak suka kalo gue pacaran sama dia? Hah?” balas Shilla dengan menahan amarahnya.
“IYA! Gue gak suka! Gue maunya ELO PACARAN SAMA GUE! BUKAN SAMA CAKKA!” jawab Gabriel dalam hati. Oh, Gabriel tidak boleh menjawab seperti itu. Terlalu cepat!
“Bukan gitu, Shill. Tapi—“
“Alaah.. udahlah. Lo sekarang berubah, Yel! Lo dulu pernah bilang, kalau gue bahagia, lo juga bahagia. Tapi, sekarang, apa? Lo malah pengen ngehancurin kebahagiaan gue dengan kata-kata aneh lo, itu kan?” serang Shilla langsung.
Gabriel langsung tercengang mendengar ucapan Shilla itu. APA-APAAN INI? Tidak! Gabriel tidak bermaksud begitu!
Shilla langsung berdiri, dan tanpa permisi, meninggalka Gabriel sendiri di taman.

Gabriel menatap punggung gadis itu yang kini mulai menghilang.
“Bodoh!”
Benar kan! Shilla marah padanya. Hh.. untung Rio gak ikut-ikutan.

*

Gabriel melongo saat memasuki kelas, karena melihat Alvin yang tengah duduk di bangkunya. Lebih tepatnya, di kursi Shilla.
Gabriel berjalan dengan penuh kebingungan menuju bangkunya.
Alvin sendiri sedang sibuk dengan buku-bukunya. Maklum lah, Alvin itu anak yang terlanjur pintar dan rajin.

“Eh, Vin. Kenapa lo duduk di sini?” tanya Gabriel setelah sampai di bangkunya.
Alvin mendongak, menatap Gabriel di balik kacamatanya.
“Hhh..” Alvin menghela nafas, “Shilla yang suruh.” Jawabnya sembari melirik bangkunya yang kini di duduki Shilla bersama Cakka.
Gabriel mengikuti arah pandang Alvin. Oh, benar. Shilla sekarang lebih memilih duduk bersama Cakka di bandingkan dengan Gabriel.
Ya. Sudah. Lah. Kalo. Shilla. Mau. Begitu.

Gabriel dengan pasrah duduk di kursinya.

“Lo, sama Shilla, lagi ada masalah, ya, Yel?” tanya Alvin.
Gabriel menoleh pada cowok bermata sipit itu. Gabriel mengangkat bahunya, “Mungkin..” jawabnya sekenanya.

Baiklah. Gabriel benar-benar tidak punya keberuntungan untuk bersama Shilla.
Pertama, antar jemput Shilla, kini sudah dilakukan oleh Cakka.
Kedua, perhatian dan tawa Shilla, kini sudah Shilla berikan hanya untuk Cakka.
Dan sekarang, untuk tempat duduk, Shilla juga lebih memilih duduk bersama Cakka.
Oke. Sekarang hanya tinggal Gabriel si ‘Pecinta Diam-diam’ yang masih enggan untuk mengungkapkan perasaannya, dan akhirnya di dahului oleh orang lain. Miris!

*

“Yel..”
Baru saja, Gabriel mau masuk ke dalam rumahnya. Tiba-tiba, tangannya di cekal seseorang.
Gabriel menoleh dengan malas.

“Ada apa, Yo?” tanya Gabriel kepada seorang cowok yang mencekal lengannya tadi. Rio.
“Shilla gimana, Yel?” tanya Rio, dengan mata yang berbinar.
Gabriel melengos, lalu menarik lengannya dari cekalan Rio. “Gue.. Gak mau bahas tentang dia lagi, Yo.” Jawabnya.
“APA?” Rio melebarkan pupil matanya. “Kok.. lo nyerah sih, Yel?” tanya Rio tak percaya.
“Bukannya gue, nyerah, Yo. Tapi.. gue rasa, semuanya bakal sia-sia.” Gabriel menghela nafasnya sebentar. “Shilla bener-bener udah jatuh dalam cinta Cakka. Dan rasanya.. susah buat gue dapetin dia dari Cakka.” Jelas Gabriel.
Rio mendesah pelan, “Gue tau gimana perasaan lo, bro. Tapi, cinta itu memang butuh perjuangan kan? Gue yakin, kok, Shilla bakal jadi milik lo.” Ucap Rio sembari menepuk pundak sahabatnya itu.
Gabriel menunduk sebentar, lalu mendongak lagi. “Thanks, Yo.” Ucapnya.
Rio tersenyum, “Take care, bro.”

*

Rio menatap layar handphonenya dengan nanar.
Ada rasa senang sekaligus kecewa dalam benaknya.

Senang? Ya. Rio senang karena Shilla barusan mengirimkan SMS padanya. Shilla bilang, Shilla meminta Rio untuk menemaninya ‘membeli sesuatu’ lusa ini. begitu saja senang?
Tentu saja. Sudah lama Rio dan Shilla tidak jalan-jalan berdua. Ingat, Ber-du-a. biasanya, pasti Gabriel juga ikut. Ah, Rio saja sampai lupa kapan terakhir kali ia jalan berdua dengan Shilla.

Tapi, Rio juga kecewa dan bersedih. Mengapa?
Ya, karena.. Shilla ‘membeli sesuatu’ itu untuk Cakka.
Apa? UNTUK CAKKA?
Iya, Untuk Cakka. Kata Shilla, hari minggu ini, tepat hari ke 21 atau 3minggu ia berpacaran dengan Cakka.
What the hell? Err~
hh.. Rio saja, rasanya susah bernafas saat mengucapkan atau mendengar nama itu.
Wah, ternyata sudah cukup lama Shilla dengan lelaki itu. Tapi, kenapa Shilla ingin memberikan sesuatu, ya? Biasanya, kebanyakan orang, merayakan hari jadian itu saat sebulannya. Bukan tiga-minggu-nya. Aneh.

“Shilla ada-ada aja deh.” Ucap Rio sembari geleng-geleng kepala. Matanya tetap menatap pada layar I-Phonenya itu.
“Kasih tau Gabriel gak ya?” tanyanya entah pada siapa saja yang ada di kamarnya.

*

Gabriel menelan salivanya susah payah. Setelah mendengar penjelasan Rio lewat telfon.

“... menurut lo, gue terima gak, ajakan Shilla?”

Mata Gabriel masih tertuju pada poster Robin Van Persie pemain Manchester United yang ia tempel di dinding kamarnya. Iya, matanya memang tertuju pada pemain tampan sekaligus bertalenta itu. Tapi tetap saja pikirannya kosong! Entah melayang kemana.

“… Woooiii!!!” Rio berteriak di seberang sambungan telfon. Karena merasa taka da jawaban dari Gabriel.

“GABRIEEEEELLL!!!” panggil Rio lagi. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

“Yo. Kalau gue gak bisa dapetin Shilla, beliin gue tiket ke Manchester ya, Yo.”

GUBRAKKK!!!

**
TBC
**

duh makin aneh nih -_-
masa bodolah..
pokoknya DON’T BE SILENT READER! LEAVE A LIKE AND COMMENT! Okey? ;)

Thanks..
@murfinurh_
 
PiscesLeo? Blogger Template by Ipietoon Blogger Template