Chapter #8
.
.
Shilla mematut dirinya di depan sebuah cermin besar, yang
tertempel di dinding kamarnya.
Shilla mendesah pelan.
Beberapa baju telah ia coba. Tapi, rasanya belum ada yang
pas di tubuhnya, untuk ia pakai sore ini.
Shilla melirik meja kecil yang ada di hadapannya. Lebih
tepatnya sebuah meja rias.
Benda mungil yang ia simpan di atas meja itu bergetar.
Shilla buru-buru mengambilnya.
“Halo..” Ucap Shilla menyambut telfon itu.
“Halo, Shill. Lo lagi apa sekarang?” kata sebuah suara di
seberang sana.
Shilla kembali melihat baju-bajunya yang berserakan di atas
tempat tidurnya. Sembari memilih-milih. “Gue... Emangnya lo udah ada dimana,
Yo?” bukannya menjawab pertanyaan dari Rio, ia malah melemparkan sebuah
pertanyaan pada pemuda itu.
“Lho, kok malah balik nanya, sih?” sahut Rio. Shilla
terkekeh pelan. “Gue baru keluar dari rumah nih. Otw ke pintu gerbang komplek.
Hehe..” sambungnya.
Shilla tersenyum puas saat menemukan sebuah ide, untuk hanya
memakai baju santai saja. Jeans dan baju kaos.
“Oh, bagus kalau begitu.” Jawab Shilla. “Emang kita mau
nonton apaan, sih?”
“Lo maunya nonton apa, emang?” tanya Rio.
“Ya elo maunya apa, Yo?”
“Kok daritadi kita malah saling lempar tanya, sih?” Rio
tertawa, begitupun dengan Shilla.
“Dandan yang cantik ya, Shill.” Ujar Rio.
“Lha? Emangnya kenapa? Bukannya kita Cuma mau nonton doang
ya? Masa harus dandan-dandan segala?” Tanya Shilla.
Rio melengos, “Emangnya lo mau dandan biasa-biasa aja?”
“Gue sih mau bagaimanapun pasti tetep aja keliatan cantik!”
jawab Shilla dengan bangga.
“Iya, sih..” kata Rio pelan.
“APA??” sahut Shilla.
“Eh, gakpapa.”
“Lo udah nyampe mana?”
“Buset!”
Shilla menjauhkan handphonenya dari telinganya. Suara Rio
terdengar memekik sekali.
“Kenapa, Yo?”
“Duh, masa pas gue baru keluar gerbang, pas nyampe jalan
raya, ternyata langsung macet.” Kata Rio.
“Wah, berarti sekarang ada pergantian lagu, Yo.” Sahut
Shilla.
“Maksud lo?”
“Iya, dulu kan ‘Macet gara-gara si Komo lewat’. Lha,
sekarang jadi ‘gara-gara si Rio lewat’, wkwkwk..” Shilla langsung tertawa
terbahak.
“Wah enak aja, lo! Haha..” sahut Rio.
“Yaudah deh, palingan bisa jadi agak maleman dikit gue
sampe. Gapapa kan?”
Shilla mengangguk. Sedetik kemudian, ia tersadar kalau Rio
tak bisa melihat anggukan kepalanya.
“Iya deh. Lagian, gue juga mau nonton drama Korea dulu.
Hihi..”
“Sejak kapan lo suka drama Korea?”
“Enggak juga sih.. Cuma mau ikut si mbok aja nonton drama
Korea.”
“Pembantu rumah tangga lo gaul, Shill. Haha..”
**
Rio menggigit ujung bibirnya, setelah menutup telfon dengan
Shilla. Lalu menoleh ke lelaki di sebelahnya.
“Masih mau ngajak jalan Shilla?”
“Ck!” Rio berdecak kesal.
Sebenarnya, tadi ia bohong pada Shilla. Jalanan tidak macet.
Bahkan sangat lancar.
Saat ia keluar dari gerbang komplek perumahannya, tiba-tiba
ia dihadang oleh sebuah mobil berwarna silver. Mobil yang pernah Rio lihat
sebelumnya.
Dan ternyata, itu mobil Gabriel.
“Sebenernya, apasih mau lo?” tanya Rio.
Gabriel tersenyum miring. “Kayaknya, lo pasti tau.”
Jawabnya.
Rio semakin tak mengerti dengan lelaki dihadapannya ini.
Rio membenarkan kerah kemejanya. “Lo masih sayang sama
Shilla?” tanya Rio dingin.
“Tentu saja.”
Iya, tentu saja! Tentu saja bukan jawaban itu yang ingin Rio
dengar.
“Lo kan udah punya Ify.” Sahut Rio dengan nada agak
meninggi. Kesal juga jadinya.
Gabriel menaikkan bahunya, tak acuh.
“Gue Cuma ngingetin lo aja, Yo. kalau sampai lo tetep
deketin Shilla, lo bakal tanggung sendiri akibatnya.” Ujar Gabriel tajam. Lalu
lelaki itu berbalik, seraya membuka pintu mobilnya.
“Dan gue gak takut sedikitpun sama ancaman lo itu!” sahut Rio
tegas.
Gabriel tersenyum licik, “Oh ya? Meskipun Shilla juga jadi
korbannya?”
DEG!!
Rio jadi deg-degan dan khawatir sendiri. “Maksud lo apa?”
“Nothing.” Jawab Gabriel, dan langsung masuk ke dalam
mobilnya, dan melaju meninggalkan Rio yang masih bingung dengan fikirannya.
**
Shilla tertawa sendiri melihat tingkah pembantu rumah tangga
di rumahnya itu. Si mbaknya yang kira-kira berusia 35 tahun ini memang sangat
menggemari serial Drama Korea. Saking gemarnya, si mbak yang bernama Pipit yang
ingin dipanggil Vita itu –OH NO!-, sampai-sampai sangat heboh saat menonton.
Hebohnya, tidak lain karena melihat pemain-pemainnya yang tampan.
“Mbak, gak usah heboh gitu dong, mbak. Pemainnya emang
ganteng-ganteng, tapi mbak inget dong sama Suami dan anak-anak mbak.” Ucap
Shilla, sambil mencoba menahan tawanya.
“Ya, si non. Itusih jangan diomongin di saat-saat kayak
gini. Saya emang suka lupa diri kalau lihat yang ganteng.” Jawab si Mbak.
“Hahaha..” tawa Shilla semakin meledak.
Drrt.. Drrt..
Shilla merasakan sebuah getaran di sebelahnya. Oh,
handphonenya. Ada sebuah pesan yang masuk.
Shilla tersenyum kecil saat melihat nama pengirim pesan
singkat tersebut.
Dari siapa lagi, kalau bukan dari Rio.
Shilla tidak buru-buru membuka pesan singkat tersebut. Ia
malah langsung mengambil cardigan
berwarna cokelat miliknya, dan memakai tas kecilnya.
“Mbak, mbak nonton sendiri, yaa. Dadaaaa..” ucapnya dan
langsung saja pergi tanpa meminta persetujuan dari si Mbak.
“Nananana..” senandungnya tidak jelas, seraya berjalan
menuju pintu depan.
Jemarinya mulai menyentuh layar handphonenya, untuk membuka
pesan singkat yang dikirim Rio tadi.
Shilla membuka pesan singkat tersebut, dan..
From : Rio
17.30
Shill, sori, ya. Soriiiii banget! Gue harus batalin acara nonton kita.
Nyokap gue nyuruh gue jemput dia di Bandara. Sori ya, Shill. Ini mendadak
banget lho, sumpah. :(
Seketika, raut wajah Shilla berubah menjadi muram. Ada rasa
kecewa dalam hatinya.
“Tau gitu, mending terus nonton sama si Mbak, deh.” Ucapnya
seraya berbalik, dan kembali masuk ke dalam rumah.
“Rio PHP (Pemberi harapan palsu), ih!”
**
Rio menarik nafasnya lega setelah melihat pesannya berhasil
terkirim pada Shilla.
Sebenarnya, ia tidak takut dengan ancaman Gabriel tadi.
Tapi, kalau difikir-fikir, mencegah lebih baik daripada memperbaiki-kan? Jadi,
Rio memilih untuk membatalkan acara nontonya.
Lagipula, soal Mamanya yang minta di jemput itu, ia tidak
berbohong kok. Sebelum ia mengirim SMS pada Shilla, ia memang menerima telfon
dari Mamanya, yang baru pulang dari Singapura itu.
Dan itu memang mendadak. Mamanya memang selaluuu begitu.
Rio mulai melajukan mobilnya. pastinya, menuju ke Bandara.
**
Gabriel hanya berdiam diri, sambil duduk di sebuah kursi
yang ada di beranda kamarnya.
Sepulang dari tempat Rio tadi, ia mendapati, em.. hal buruk.
Mungkin.
Mamanya mengatakan, kalau calon mertuanya, eh, maksudnya
Ayah Ify, ingin mempercepat acara pertunangan mereka.
“Shit!” umpat Gabriel penuh kekesalan.
Jujur saja, ia belum siap. Ia belum siap untuk bertunangan
dengan Ify.
Terlebih lagi... karena gadis yang ia cintai bukan Ify.
Tapi.. Shilla.
“Arrgghh!!” Gabriel mengerang frustasi, dan mengacak-acak
rambutnya sendiri. Memikirkan dua gadis itu, membuatnya jadi sangat sensitive.
Ia masih mencintai Shilla. Sangat mencintainya. Tapi, disisi
lain, ia dijodohkan dengan gadis lain. Tentunya Ify.
Dan rasa yang sempat Gabriel pikir, tak akan pernah datang kepadanya,
ternyata kini sudah menjalar didalam hatinya. Perasaan aneh ketika bersama Ify.
Tapi, ia selalu berusah untuk tetap menyangkal perasaan itu. Dan tetap
memperkokoh perasaannya terhadap Shilla. Egois memang. Dan sangat tidak adil
bagi Ify.
Tik.. Tik..
Gabriel mendongakkan kepalanya, saat mendengar suara rintik
air.
Butiran air dari langit itu, perlahan mulai turun satu
persatu. Hingga tak lama, mulai menjadi sebuah gerombolan butir air yang
berdesakkan turun membasahi permukaan bumi.
Suara hujan itu, membuat Gabriel menaikan sedikit garis
bibirnya.
Gabriel berjalan mendekati pagar (?) di ujung beranda
kamarnya. Ia mengulurkan kedua lengannya, dan menengadahkannya. Mencoba
merasakan dinginnya air hujan yang kini sudah berkumpul di telapak tangannya.
Ia suka hujan. Sama seperti Shilla. Tapi terkadang, saat ini
hal itu lah yang membuatnya juga membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada
Shilla. Dan seharusnya, ia segera melupakan gadis itu bukan?
Sebenarnya, bukan melupakan. Hanya ingin melenyapkan sebuah
rasa cinta untuknya.
“Gue rasa, gue orang paling munafik dan egois di dunia ini.”
Ucap Gabriel datar.
Tatapannya tertuju pada rintik-rintik hujan yang semakin
lama semakin deras.
“Yel...”
Gabriel menoleh dengan cepat saat mendengar seseorang
memanggil namanya.
“Mama?” sahutnya saat mendapati Mamanya yang sedang berdiri
tak jauh dibelakangnya.
Mama melipat kedua tangannya didepan dada. “Kamu lagi ada
masalah?” tanyanya, kepada anak semata wayangnya itu.
Ingin sekali Gabriel mengatakan “Ya” pada Mamanya. Tapi,
Gabriel bukan tipe orang yang terbuka kepada Mamanya. Ia merasa, jika seorang
anak laki-laki curhat kepada sang ibu, itu akan terdengar aneh. Padahalkan itu
sah-sah saja bukan? Dasar Gabriel.
“Enggak kok, Ma.”
“Gak usah bohong.” Sela Mamanya cepat. “Mama tau dari raut
wajah kamu, Yel.”
Gabriel langsung meraba pipinya. Ah, masa iya wajahnya
sangat menunjukkan kalau ia sedang stress seperti ini. Memalukan.
“Apa ada yang bisa mama lakukan buat bantu kamu?” tanya Mama
lagi.
Gabriel menggeleng, “Gak usah, Ma. Gabriel pasti bisa atasi
sendiri kok.” Jawabnya.
Mama menghela nafasnya, “Ya sudah kalau kamu memang mau
menutupinya.” Ucapnya. “Tapi, kamu gak perlu berfikir bahwa kamu orang yang
paling munafik dan egois di dunia ini. Karena, bukan hanya kamu yang merasa
seperti itu.” Sambungnya.
Glek!
Jadi Mama tau kalau Gabriel mengatakan hal itu? Sejak kapan
sih Mama ada dibelakang Gabriel?
Mama gabriel jadi tersenyum sendiri melihat Gabriel yang
shock seperti itu. Wanita paruh baya itu kemudian membalikkan tubuhnya. “Oh,
ya, tadi ada teman kamu yang menelfon ke telfon rumah.” Ucapnya lagi. “Katanya,
dia pengen ketemu kamu, habis maghrib nanti.”
“Hah, siapa?” tanya Gabriel.
“Kalau gak salah... namanya Cakka.”
**
Shilla melipat mukenanya dengan rapi, setelah selesai
mengerjakan Sholat Maghrib.
Lalu, ia melirik ke arah jendela kamarnya yang terpampang
besar.
“Hujannya awet banget.” Ucap Shilla seraya menyimpan alat
sholat itu ke tempatnya.
Ia berjalan mendekati jendela tersebut.
“Harusnya gue lagi teriak-teriak nih sama Rio pas nonton.”
Ucapnya. Ia menghela nafas sesaat, “Eh, teriak-teriak? Emangnya gue mau nonton
apa? Horror? Idiiih serem! Gak mau!” Lanjutnya, sambil bergidik ngeri.
Shilla kemudian memeluk tubuhnya sendiri, sambil
mengusap-ngusap lengannya.
“Dingin bangeet! Ini hujan gak capek apa?”
Tok... Tok... Tok...
Shilla membalikkan tubuhnya kea rah pintu kamar.
“Sebentar..” teriaknya, seraya berjalan cepat untuk membuka
pintu kamarnya.
“Ada apa, mbak?” Tanya Shilla pada mbak Pipit yang baru saja
mengetuk pintunya itu.
“Ini non, tadi handphone si non ketinggalan di sofa. Terus,
tadi bunyi-bunyi gitu beberapa kali. Saya mau kasih, tapi non Shilla kan lagi
sembahyang.” Jelasnya panjang lebar.
“Duh, kok bisa ketinggalan ya? Yaudah, makasih ya, mbak.”
Jawab Shilla seraya mengambil alih handphonenya.
Shilla menutup pintu kamarnya kembali, setelah mbak Pipit
pergi.
Ia melirik layar handphonenya.
25 missedcall
11 message
“Buset! Pantes aja si mbak bilang bunyi terus.” Komentar
Shilla setelah melihat tulisan tersebut di layar handphonenya.
8 diantara panggilan tak terjawab, adalah dari Rio. 6
diantaranya dari Gabriel. Sedangkan 11 lainnya dari sebuah nomor yang tak
dikenal.
4 diantara pesan singkat yang masuk dari Rio. 4 diantaranya
dari Gabriel. Sedangkan 3 lainnya dari nomor yang tak dikenal tadi.
Shilla mengerutkan keningnya.
“Gabriel sama Rio.. sms di waktu yang sama?” tanyanya, lebih
tepatnya pada dirinya sendiri. “Dan yang lebih parah.. nomor gak dikenal ini
juga sms diwaktu yang sama? Ada apa nih?” lanjutnya.
“Duh, ini nomor siapa pula?!”
Shilla langsung membuka pesan singkat yang dikirim oleh
nomor tak dikenal itu terlebih dahulu, sebelum membuka pesan singkat dari
Gabriel dan Rio.
From : 085313xxxxxx
18.05
Selamat malam, Cantik :)
From : 085313xxxxxx
18.11
Masih inget aku kan, cantik? Aku yang selalu mencintai kamu
:)
From : 085313xxxxxx
18.14
Cantik, sampai kapanpun, aku akan menghancurkan siapapun
yang berani mendekatimu! Sekalipun taruhannya nyawa. Karena, itu sebagai bukti
bahwa aku yang paling mencintaimu. I miss u.
DEG!!
Jantung Shilla terasa berhenti berdegub seketika.
“Orang ini....” ucapnya menggantung.
**
“Ma, Rio ada urusan dulu nih. Rio pergi dulu, ya.” Pamit Rio
tanpa basa-basi setelah ia sampai dirumahnya dengan mengantarkan mamanya.
“Hey, kamu kan baru sampai, nak.” Ujar Mamanya.
“Iya, tapi Rio ada urusan penting nih. Bentar ya, Ma. Bentar
deh.” Ucapnya lagi.
Ia langsung saja memarkir mobilnya untuk keluar, dari
gerbang rumah.
“Dada mamaaaaah…”
Rio melakukan ini bukan tanpa alasan. Tadi, ia melihat
sesuatu di dekat taman kota.
Ia melihat dua orang lelaki yang sedang, umm, bicara penting
sepertinya. Salah satu diantara dua orang itu, adalah orang yang Rio kenal.
Gabriel. Ya, lelaki itu adalah Gabriel.
“Umm, kayaknya sebelumnya gue pernah liat tuh cowok, yang
sama Gabriel tadi deh.” Ucap Rio. “Mereka lagi ngapain ya? Gue jadi curiga.”
Lanjutnya.
Hei! Jangan menganggap Rio kepo dan sebagainya, ya! Tapi ia
juga tak mengerti mengapa ia begitu penasaran dengan apa yang dilakukan oleh
Gabriel dengan temannya itu.
Tak sampai 5 menit, ternyata Rio sudah sampai di Taman Kota.
Ia menghentikan mobilnya tepat di dekat sebuah mobil berwana silver. Yang ia
ingat, itu mobil Gabriel tadi.
Gabriel dan temannya itu masih ada disana ternyata.
Rio segera keluar dari mobilnya, lalu berjalan mengendap
untuk mendekati Gabriel dan ‘temannya’ itu.
“Oh, ya? Lo pikir gue bakal dengan mudah ngelepas Shilla
untuk lo?”
“Tentu saja! Masih inget kan sama ancaman gue?”
“Persetan dengan ancaman lo itu! Gue gak takut!”
“Oke! Mungkin lo gak takut! Tapi, gue akan nyerang si cowok
jelek itu!”
Rio memperhatikan teman Gabriel yang kini berjalan
meninggalkan Gabriel.
“Cowok jelek?” tanya Rio pelan. “Pasti bukan gue! Gue kan
ganteng.” Sambungnya dengan senyuman bangga.
“Sial!! Gue gak akan biarin lo lakuin apapun, psikopat
gila!” umpat Gabriel dengan menendang sebuah botol kaleng minuman. Lalu, ia
berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri tadi.
Sedangkan, Rio segera bersembunyi dibalik pohon besar, agar
Gabriel tidak mengetahui keberadaannya.
Gabriel sendiri, jadi merasa ada sesuatu yang aneh.
Contohnya, ada sebuah mobil hitam yang terparkir di sebelah mobilnya. padahal,
setaunya tadi tidak ada.
Ah, entahlah. Ia tak peduli.
Gabriel langsung masuk saja, dan melajukan mobilnya.
**
Rio langsung terjun ke tempat tidurnya, setelah sampai
dikamarnya.
“Kangen Shilla, ih.” Ucapnya.
Padahal, hari ini ia sudah bertemu Shilla. Ya, walaupun
tidak terlalu lama. Setidaknya, ia sudah melihat gadis berparas cantik itu kan?
“Kok, dia gak bales sms gue, ya?”
Rio langsung mengambil handphonenya yang ia simpan di saku
jaketnya. Dan mengirim sebuah pesan singkat kepada Shilla.
To : Shilla cantik :*
Shill, lagi ngapain? Kamu gak marah kan karena nontonnya batal? Maaf
ya, aku bener-bener minta maaf :(
Send!
Rio tersenyum puas karena tak lama mendapat balasan sms dari
Shilla.
From : Shilla cantik
:*
Enggak, gue gak marah kok. Biasa aja. Kenapa lo tiba-tiba pake
panggilan ‘aku kamu’, Yo?
GLEK!
Rio meneguk ludahnya. Benar juga.
Kenapa ia jadi pakai ‘aku kamu’? ah sudahlah! Terlanjur basah. Lanjutkan saja!
Hehe..
To : Shilla cantik :*
Oh, syukur deh kalo gitu. Hehe,
aku juga gak tau. Yaudahlah, gapapa :D
Oiya, besok aku anter kamu ke kampus,
ya, Shill.
Setelah itu, pembicaraan terus
berlangsung hingga cukup larut malam.
**
TBC :)
@murfinurh_
0 komentar:
Posting Komentar